“Tradisi Bawa Tangan” yang baru
saja beta temukan dan saat mendengar tuturan cerita yang beragam dari
pengalaman riil masyarakat Negeri Ullath (di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku), rasa-rasanya tidak sabar dan menjadi pilihan tepat
sebagai salah satu posting menarik edisi
kali ini bagi pembaca setia Tradisi Maluku.
Sebelum beta menjelaskan lebih
lanjut, tujuan menulis tradisi ini,
adalah murni mengekspose realitas masyarakat Negeri Ullath, yang sampai hari
ini, mayoritas masyarakat disana masih menjalankan dan mempercayai tradisi “bawa
tangan” tersebut. Sehingga dalam penjelasan selengkapnya dari posting ini,
tidak dinterpretasi secara berlebihan dari sisi norma agama konvensional kita
masing-masing. Sebab hakekatnya, tradisi dan budaya adalah semacam kodrat masing-masing
(dari masyarakat/komunitas yang menjalankannya) yang perlu di hargai oleh
masyarakat lainnya yang tidak menjalankannya.
LATAR BELAKANG
Bagi Orang Ullath hubungan intim dari sebuah keluarga adalah
segala-galanya. Sehingga relasi yang terbangun dari suatu ikatan keluarga (Geneologi) semenjak
semasa hidup, tidak dapat dibatasi sampai kapanpun, termasuk kematian yang pada
umumnya dianggap manusia, sebagai pembatas hubungan makhluk hidup di dalam
dunia dengan segalanya. Yaitu ketika seseorang telah ”meninggal dunia”/mati sama artinya hubungan kekeluargaan semasa
hidup telah berakhir, tetapi bagi sebagian besar masyarakat Ullath, itu hanya
perpindahan ruang dan waktu; sehingga roh dan arwah orang-orang yang telah
meninggal dunia itu masih tetap ada seperti selayaknya di masih hidup. Sebagai contoh
untuk mempermudah cara pandang masyarakat Ullath terkait hal ini adalah begini;
jika semasa hidup sesorang terkenal sebagai seorang pemimpin paduan suara (di
gereja), maka di alamnya sesudah ia meninggal dunia, orang tersebut dikenal
oleh masyarakat (di dunia orang mati) juga sebagai pemimpin paduan suara. Ataupun
saat semasa hidup seseorang terkenal sebagai kepala Kewang (Kepala Divisi
perlindungan Petuanan Negeri, Hutan dan Pantai), maka di dunia orang matipun
jabatan itu masih dimiliki olehnya.
Sebagaimana telah dijelaskan ada hubungan yang terus terbina
di dalam konsep pemaknaan antara masyarakat Ullath dengan dunia orang mati,
maka seseorang yang baru meninggal dunia di dalam negeri Ullath, dipercaya
dalam konsep pemaknaan mereka, orang tersebut dapat mengantarkan kiriman (Karimang) atau “bawa tangan” (ole-ole)
kepada sanak-saudaranya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.
TRADISI BAWA TANGAN & BAWA
KARIMANG
Pada tanggal 15 mei 2013 kemarin saat menghadiri acara
pemakaman opa menantu beta di negeri Ullath, sebuah tradisi yang sangat hebat secara
turun temurun dapat beta amati disana, yaitu dari masyarakat setempat saat
mereka menghadiri acara pemakaman tersebut. Sebelum satu persatu masyarakat
Ullath yang hadir dan masuk di rumah duka untuk sejenak melihat wajah Bapak/Opa
Marthinus Patty (sebagai Kepala Kewang di Negeri Ullath), mereka terlebih
dahulu menulis “buku list” yang telah disediakan dan dijaga oleh orang-orang
yang telah ditunjuk sebelumnya.
Mereka kemudian menulis nama mereka masing-masing, dan juga menulis
berapa jumlah uang yang mereka bawa. Yang menarik dari aktivitas ini, adalah
pada konsep pemaknaanya masyarakat setempat, bahwa berapa jumlah besar atau
kecilnya yang mereka tulis didaftar list tersebut, itu adalah jumlah yang
sebenarnya akan mereka kirim ke keluarga mereka lewat bantuan Opa Mantu beta,
saat berjumpa sanak saudara mereka didunia orang mati kelak. Jadi misalkan ibu
beta yang telah meninggal dunia ditahun 2007, beta juga bisa menulis nama dan
juga Rp.100.000 (Jumlah besaran titipan/ole-ole), hal ini dipercayai saat
didunia orang mati, Opa Mantu Beta dapat menolong menjadi kurir untuk
mengantarkan kiriman beta ke ibu disana dengan melihat daftar list yang Ia
miliki.
Dari contoh beberapa kasus unik yang telah terjadi di dalam
masyarakat negeri Ullath, saat sanak keluarga yang yang telah meninggal dunia
muncul lewat mimpi dan memberitahukan membutuhkan sesuatu dalam bentuk barang
atau lainnya, maka pihak keluarga yang masih hidup, dapat mengirim kiriman
tersebut lewat orang meninggal lainnya dikemudian hari. Dengan cara mengisikan
barang titipan tersebut di dalam peti
jenazah orang (yang telah meninggal dunia) dan membisikan permohonan
minta tolong (kepada orang tersebut) untuk mengatarkan kirimannya ke sanak
keluarganya di dunia orang mati, saat mereka bertemu satu sama lainnya
dialamnya.
Atau bahkan ada satu cara lainnya yang menjadi pengecualian
dalam sebuah pemberian khusus. Sebagai contoh; misalkan beta ingin memberikan
sebuah baju kaos baru untuk opa mantu sebagai pemberian khusus beta kepadanya.
Tetapi dalam kepercayaan orang Ullath, baju kaos yang adalah pemberian khusus
itu harus digunting sekitar 10 cm, di bagian mana saja, sebelum memasukannya di
peti jenazah; sebab jika tidak digunting,
maka saat di dunia orang mati, bisa saja ibu beta dapat mengambilnya dari opa
mantu beta, sebab mama beta mengetahui kalau barang itu juga menjadi bagian
kiriman dari beta pada dirinya (mama beta) yang dikirim lewat Opa Mantu.
Eh.. hampir lupa satu pengecualian lagi, yang perlu beta
jelaskan pada bagian ini; dalam prakteknya tradisi “bawa tangan dan bawa
karimang” ini, tidak dilakukan kepada seseorang yang meninggal jika ia adalah
seorang balita, yang kisaran umurnya kurang lebih 0-2 tahun, karena di percayai
oleh orang Ullath ia (yang meninggal) masih terlalu kecil dan tidak bisa berjalan
lebih jauh membagikan kiriman-kiriman dari semua orang, saat ia tiba di dunia
orang mati.
REFLEKSI SINGKAT
Saat pertama kali melihat dan memberikan perhatian sepintas
terhadap tradisi ini dari masyarakat Ullath dan juga menanyakan beberapa sumber
sebagai sumber data menulis posting beta kali ini, tergambar kuat nilai-nilai
luhur yang terus terkawal hingga kini dari generasi ke generasi. Yaitu nilai
kebersamaan, nilai kekeluargaan, dan nilai solidaritas, yang dominan dan terus
hidup melewati batas-batas sejarah. Termasuk mampu bertahan dari pengaruh dan kekuatan dogma agama Kristen yang
telah dianut masyarakat negeri Ullath semenjak tahun 1630.
Sebab pada hakekatnya kepercayaan yang mendasari tradisi
ini, tentunya berlawanan dengan tradisi-tradisi kekristenan. Tetapi kenapa
tradisi ini masih terus berlangsung dan hidup di dalam masyarakat Negeri
Ullath? Kecurigaan beta begitu kuat terhadap tradisi lisan yang di bawa semenjak
nenek moyang mereka (orang Ullath), yaitu mengambil keputusan untuk keluar dari
Malaka (tanah asal usul nenek moyang Orang Ullath), dan menuju ke Maluku (al-mulk;
negeri Raja-Raja) yang dalam beberapa abad lamanya untuk mencari dan telah
menemukan tempat permukiman baru, hingga kini sebagai tempat tinggal mereka di
Pulau Saparua.
Dan sebagai komitmen
untuk menjaga hubungan yang berawal dari hubungan suatu sub komunitas suku yang
terkecil, hingga kini telah menjadi sebuah komunitas masyarakat yang besar (suatu
negeri di Pulau Saparua) dengan peradaban sejarahnya, adalah harga mati yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk tetap dilestarikan. Karena proses perjalanan yang dilakukan nenek moyang mereka,
tentunya memiliki tatanan nilai yang spesisfik dan begitu special bagi mereka
dalam sejarah keturunan masyarakat Ullath sejak awal mulanya, dan cerita-cerita
tentang heroiknya perjalanan nenek moyang mereka yang masih terdapat dalam
kapata-kapata mereka sebagai salah bukti; yaitu cara mereka melestarikan
tradisi lisan yang pernah ada hingga kini.
Sehingga salah satu
contoh yang masih bisa kita temukan di saat ini adalah suatu dasar kepercayaan
yang melatar belakangi tradisi “Bawa Tangan dan Bawa Karimang” dalam konteks
orang Ullath. Dimana mereka mencoba secara terus menerus menempatkan posisi
dunia orang Mati (yang merepresentasikan dunia nenek moyang mereka) dalam
konsep pemaknaan tentang hubungannya dengan dunia orang hidup (yang merepresentasikan
dunia masa kini) dalam sudut pandang spiral yang akan selalu terhubung
senantiasa.
Dan bagi setiap orang yang ”meninggal dunia “di antara sesama
masyarakat di negeri Ullath, dipandang sebagai pribadi yang secara langsung
dapat menghubungkan segala kepentingan mereka dengan garis keturunan mereka
yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Sehingga sudut pandang masyarakat
negeri Ullath begitu meluhurkan nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi
ini, saat mereka menghadiri suatu acara pamakaman seseorang anggota
masyarakatnya.
Semoga bermanfaat tulisan ini bagi anda sekalian..
0 comments :
Post a Comment
Dengan Senang Hati Beta Menanti Basuara Sudara-Sudara.