Keluarga sebagai basis pendidikan terkecil dalam suatu masyarakat, dan di dalam konteks ini "tradisi tampa garam" memiliki muatan didikan yang berorientasi pada menumbuhkan rasa persaudaraan di antara anggota keluarga tersebut. Tampa garam (tempat garam) akan ditemukan di hampir setiap keluarga orang Ambon-Lease sebagai salah satu pelengkap tata sajian makanan di atas tempat makan keluarga.
Asal Mula Tradisi tampa garam
Tidak tahu dengan jelas kapan tradisi ini mulai diterapkan di dalam setting hidup orang Maluku (Khusus Maluku Tengah, Pulau Seram, dan Ambon Lease). Namun yang pasti tradisi ini adalah suatu bentuk kebiasaan dari gaya hidup generasi terdahulu yang biasanya hidup berkelompok yang kemudian dilestarikan hingga kini. Yaitu pola dasar dari kebiasaan mencari atau mengumpulkan makan, sampai pada pengelolahan makanan tersebut; dan pada akhirnya mereka makan, selalu bersama-sama.
Sehingga dapat dikatakan tradisi tampa garam ini, latarbelakang terbangunnya dan dapat bertahan, lewat dilestarikannya tradisi ini, sangat berkaitan erat dengan latar belakang gaya hidup masyarakat primitive (dari generasi nenek moyang “orang Maluku” terdahulu) yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai solidaritas dalam hidup berkelompok. Suatu asumsi yang selalu menjadi bukti pijakan bertahannya suatu tradisi di dalam masyarakat, bahwa tradisi itu memiliki suatu atau lebih dari bentuk-bentuk kualitas nilai yang sudah membudaya dan tanpa disadari telah diwariskan secara tidak langsung bagi generasi berikutnya. Tentunya tradisi tampa garam memiliki hal itu.
Tradisi tampa garam; Memiliki seperangkat nilai luhur
Jika dewasa ini tampa garam itu ditemukan atau dapat terlihat pada sebagian besar meja makan keluarga dari orang Maluku Tengah, Orang SBB, atau SBT (Sebagian), Lease dan orang Ambon; sebenarnya tampa garam sedang mengingatkan satu keluarga itu pada realitas hidup berkelompok sebagai suatu kesatuan keluarga (yang terdiri dari seorang ama/tata/bapa/ayah, ina/mama/Ibu, dan ana-na/anak-anak) yang tidak terlepas dari mata rantai kekeluargaan yang geneologis. Yakni secara tradisional dalam setting hidup berkelompok masyarakat Maluku Tengah dahulu di kenal sebagai satu rumatau/lumatau/mataruma, yaitu suatu kesatuan genealogis yang lebih besar sesudah keluarga.
Sedikit menjelaskan, rumatau berasal dari kata “ruma” atau ‘rumah’. Sebutan ini berasal dari beberapa tempat sesuai dengan dialek setempat. Menurut dialek Saparua, di sebut “lumal”, dialek Nusalaut “rumal”, dialek Haruku “ruma” dialek Hila dan Asilulu “luma”.[1] Sedangkan kata “tau” secara harafiah berarti “isi”. Jadi rumatau berarti rumah yang didiami atau di isi secara bersama-sama oleh orang-orang yang mempunyai garis geneologis yang sama, dan keanggotaannya tersusun menurut garis bapak. Arti lain dari “tau” adalah periuk tembikar yang besar. Dengan demikian, rumatau berarti rumah yang penghuni-penghuninya makan secara bersama-sama dari satu periuk.[2]
Jadi semakin jelas dapat terlihat korelasi tampa garam dengan latar belakang rumatau/lumatau/mataruma yaitu nilai-nilai solidaritas hidup berkelompok yang dahulu ditemukan dalam kebudayaan orang Maluku Tengah. Sehingga yang diekspresikan tampa garam di atas tempat makan suatu keluarga yang masih menjalankan tradisi tersebut, yaitu benar-benar dengan tegas mengingatkan keluarga itu pada nilai-nilai luhur solidaritas hidup orang basudara (ikatan persaudaraan antara adik dan kakak sepupu berdasarkan garis keturunan patriakhi) yang punya ikatan darah.
Menjadi suatu aksentuasi penting terhadap komitmen hidup bersama, dengan di tunjang konteks yang begitu primitive dan liar pada masa lalu, memposisikan ikatan geneologis serta solidaritas hidup bersama sebagai satu kelompok/klan mesti di aktakan dalam bentuk-bentuk aktivitas hidup sehari-hari. Termasuk di dalamnya kehadiran sebuah tembikar besar tempat makan bersama-sama (dengan berjalannya waktu bentuk yang lebih simple dari satu wadah/tempat makan bersama ditemukan, dan menjadi trand baru; yaitu tampa garam. Sebab tampa garam dahulu bentuknya berupa sebuah piring berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat atau kayu, dan di dalam piring itu berisikan “garam kasar” dan beberapa buah cabe kecil, atau di sebut orang Maluku “cili”. Tetapi bentuk modern dari tampa garam dewasa ini, yaitu 1 buah piring kaca dan yang berisikan cili-garam).
Namun dengan berjalannya waktu, tradisi tampa garam ini, tidak lagi bermakna luas mencakup solidaritas hidup bersaudara antar rumatau lagi, tetapi eksistensi tradisi ini dan nilai-nilainya terinternalisasi pada batasan keluarga saja (sub-sub dari kesatuan rumatau besar). Sebab dengan pengaruhtampa garam terhadap realitas hidup rumatau dengan kekhasan nilai solidaritasnya, telah menjadi sempit pada ranah keluarga.
Eksistensi tampa garam di masa kini
Kendati demikian tradisi tampa garam telah menghasilkan pemahaman yang sedikit bergeser dari nilai-nilai dasar hidup berkelompok, sebagai satu kesatuan rumatau, namun tampa garam era modern ini masih mencerminkan suatu kekuatan nilai solidaritas rumatau/lumatau itu berada. Sebab bukti dari dinamika hidup orang basudara antar satu kesatuan geneologis dari garis keturunan ayah atau Ibu, masih sangat kuat di “Maluku” (Seram, Ambon-Lease).
Hal ini terungkap dari fakta-fakta budaya tertentu, bahwa peranan nilai-nilai satu kesatuan rumatau masih sangat dominan ketika di langsungkannya “badati” (musyawarah keluarga dalam rangka membagi tanggungan/sumbangan sukarela) untuk suatu keperluan. Misalkan acara adat perkawinan, atau ada acara adat bayar arta negeri yang menjadi beban salah satu anggota rumatau, dll. Sehingga beragam frase yang lazim di pakai dalam konteks ini, yaitu mencerminkan nilai solidaritas satu rumatau, seperti : “katong satu darah” (kita satu darah/geneologis), katong satu mataruma/rumatau/lumatau (kita satu keluarga besar), katong satu tampa makang/tali poro (kita satu tempat makan/usus), katong satu tampa garam (kita satu tempat garam), katong satu gandong (kita bersaudara kandung), dll.
Justru pusat edukasi terhadap pentingnya melestarikan nilai-nilai solidaritas satu rumatau atau keluarga, kemudian media meja makan atau di “atas lesa” (tempat makan tradisional/primitif orang “Maluku” yang hanya di tutup dengan satu lembar kain putih di atas tanah, atau memakai daun kelapa/pisang sebagai alas) proses edukasi itu berjalan. Formatnya yaitu dari generasi yang tua ke genarasi berikutnya (orang tua kepada anak-anak). Sehingga kebanyakan orang tua di Maluku banyak menasehati anak-anak mereka pada saat makan. Entah itu waktu sarapan, makan siang, atau makan malam. Sebab ada semacam asumsi yang sama dari setiap generasi “Maluku”, yaitu memberi nasehat pada saat proses makan bersama/keluarga, di percaya memiliki kualitas mengikat jauh lebih baik; dimana suatu kepatuhan yang diharapkan untuk mengikuti nasehat yang diberikan orang tua terhadap anak akan di terima, sebagai mana dasar-dasar tradisi ini telah berlangsung lazimnya di “Maluku”.
Namun akan bermakna lebih ketika, ada satu tampa garam di atas meja makan sebagai tempat berbagi rasa bersama (karena tempat garam memang di pakai sebagai satu tempat bersama, yang di tempatkan khusus untuk siapapun yang makan di meja makan tersebut dapat mencolek jari telunjuk atau jari tengahnya untuk mengambil dua rasa di sana, yaitu rasa asin dan rasa pedas, dan setelah itu di masukan ke mulutnya dengan cara di hisap ujung jari itu, atau di kecap pada ujung lidahnya), yang mana kehadiran tampa garam itu memberi nuansa tersendiri sebagai akta kesatuan, kebersamaan, solidaritas, sepenangungan, persaudaraan, yang sudah pasti menyatukan persamaan rasa di situ; hal ini pula yang memposisikan tampa garam sebagai simbol yang utuh terhadap kualitas nilai hidup orang basudara ala orang “Maluku” hingga kini dan sampai kapanpun.
Sesuatu yang dihasilkan simbol dari setiap produk manusia/masyarakat, tentunya terkadung nilai-nilai luhur yang telah terciptakan dan terekam di alam gagasan (sebagai latar belakang pikir) manusia. Menjadi pertanyaan kenapa di dalam tampa garam yang sudah dikenal sebagai satu tradisi besar orang “Maluku” hanya ada dua rasa? Kenapa hanya ada rasa asing (asin) dan padis (pedas). Harus di akui bahwa, bukan secara kebetulan dua rasa itu sebagai pelengkap rasa ketika masyarakat “Maluku” primitive hendak melakukan aktivitas makan bersama (dalam kehidupan berkelompok mereka) dan dilestarikan (sudah mentradisi) hingga kini. Bisa saja dapat di ganti dengan rasa yang lain, itu bukan hal yang rumit. Namun?
Secara khosmologi orang Maluku, rasa asin adalah rasa utama dari setiap makanan atau minuman yang dikonsumsikan hampir sebagian besar kandungan rasa asin dapat di jumpai. Bahkan darah pun terkandung rasa asin yang begitu dominan ketimbang rasa lainnya. Sekalipun sesorang itu hidupnya di pinggir pantai (dataran rendah), atau di pegunungan (dataran tinggi), tetap darahnya berasa asin. Hal ini dibuktikan dari konstruki dasar salah satu rumpun suku malenesia yang kebiasaan mereka berperang, setelah musuhnya mati dibunuh olehnya, dia mengharuskan meminum darah musuh itu. Sebab ada kepercayaan, bahwa jika tidak demikian maka nyawanya akan menuntut balas. Dan dalam beragam pengalaman bahwa banyak orang “Maluku” yang memiliki kebiasaan itu pada saat mereka berperang, sehingga banya fakta minum darah secara individual setelah selasai duel (perang individu), maupun minum darah secara kolekstivitas setelah selesai perang berakhir (perang massal).
Degan demikian, rasa asin pada tampa garam sebenarnya lebih kuat menegaskan pada kualitas satu rumpun rumatau atau satu kesatuan geneologis yang tidak terpisahkan selamanya. Dimana ada akta makan garam yang berasa asin, itu ibarat suatu akta minum darah (sebab akta minum darah juga di pakai oleh masyarakat primitive Maluku sebagai bukti sebuah komitmen dan keseriusan membangun sekutu dalam berperang, hal ini dapat kita lihat dalam membangun “sumpah pela darah”) untuk terus mengikat kebesaran rumatau/lumatau/mataruma tersebut, selagi masih ada darah terkandung didalam tubuh.
Sementara rasa padis (pedas), adalah suatu kebutuhan rasa yang identik dengan manusia yang bercuaca tropis termasuk dengan masyarakat Maluku primitive. Tetapi dalam khosmologi orang Maluku; merupakan sesuatu yang substansial, yaitu mesti ada roh yang menyemangati suatu tindakan. Misalkan; Jika perang tanpa panduan suara tifatahuri (alat music dari cangkang keong laut yang berukuran besar, dan di tiup mengeluarkan suara seperti sangkakala yang terbuat dari tanduk), kekuatan dan formasi berperang akan melemah. Jika kedinginan karena cuaca, mesti ada sesuatu yang bisa menimbulkan rasa panas dan menyemangati. Pilihan makan sesuatu yang pedas, adalah satu cara dari sekian banyak cara lain yang bisa terus mengobarkan semangat. (alat music perang yang di pukul) dan tahuri (alat music dari cangkang keong laut yang berukuran besar, dan di tiup mengeluarkan suara seperti sangkakala yang terbuat dari tanduk), kekuatan dan formasi berperang akan melemah. Jika kedinginan karena cuaca, mesti ada sesuatu yang bisa menimbulkan rasa panas dan menyemangati. Pilihan makan sesuatu yang pedas, adalah satu cara dari sekian banyak cara lain yang bisa terus mengobarkan semangat.
Tidak tanpa makna ketika dewasa ini ada tradisi budaya “panas pela” atau “panas gandong” yang masih kita ketahui, sebab tidak ada akta dalam bentuk simbolik pembakaran sesuatu untuk menghasilkan rasa panas untuk tradisi budaya “panas pela”, tetapi yang hanya ada yaitu akta secara simbolik melakukan prosesi minum darah yang memungkin sejarah masa lalu hidup kembali ketika ada ”panas pela” itu terjadi. Lalu apa kaitannya dengan rasa padis (pedas) di tampa garam? Jawabannya: rasa pedas itu adalah roh yang selalu diharapkan untuk menyemangati/memanaskan (sebagaimana rasa panas yang kuat dihasilkan dari rasa pedas) akta minum darah ketika setiap orang makan garam di tampa garam tersebut. Yaitu untuk terus berkobar rasa memiliki, rasa menghormati, rasa mencintai, rasa mengahargai, rasa saling melindungi, antar sesame anggota rumatau/lumatau/mataruma tersebut.
Jadi sebenarnya pusat edukasi antar generasi ke generasi di atas lesa atau di atas meja makan yang terletak di atasnya terdapat sebuah “tampa garam” bagi orang Maluku Tengah, orang Seram Bagian Barat, sebagian orang Seram Timur, dan orang Ambon-Lease; tampa garam telah terintegrasi di dalamnya jati diri mereka yang berasal dari latar belakang budaya yang cepat darah panas (sebutan dialek ambon hari-hari untuk “cepat emosi”).
Inilah hal buruk yang harus kita sikapi dengan arif, jika setiap anda dan saya mau menjadi pemimpin yang baik. Semoga posting ini bermanfaat bagi anda dan saya yang memang berasal dari berlatar “Maluku” dan bagi setiap orang yang ingin mempelajari tradisi budaya orang Maluku. [SA.95]
N.B. Tulisan ini adalah penyempurnaan dari postingan terdahulu “TRADISI TAMPA GARAM” edisi 2010 di blog ini. Sebab melewati sebuah analisis yang panjang dan update data dari beberapa sumber lisan dari generasi terdahulu saya kemudian menerbitkan postingan ini.
[1] PS2M, Sejarah dan kearifan hidup masyarakat Maluku Bagian Tengah, Makassar, 2009. Hal: 40-41.
[2] Ibid. Hal: 42.
0 comments :
Post a Comment
Dengan Senang Hati Beta Menanti Basuara Sudara-Sudara.