Johannes Leimena (anak kedua dari empat anak pasangan Dominggus Leimena
dan Elizabeth Sulilatu) lahir tanggal 6 Maret 1905 di Ambon. Ia
keturunan keluarga besar Leimena dari Desa Ema di Pulau Ambon dan
dikenal dengan nama panggilan "Oom Jo". Ia seorang Kristen yang berbudi
luhur. Ayahnya seorang guru, dengan demikian ia terhitung keturunan
golongan menengah (pada saat itu). Pada usia lima tahun Johannes telah
menjadi yatim. Kemudian ibunya menikah lagi, dan ia diasuh oleh
pamannya.
Johannes kecil awalnya bersekolah di "Ambonsche
Burgerschool" di Ambon karena paman yang mengasuhnya menjadi kepala
sekolah di sana. Kemudian pamannya dipindahkan ke Cimahi.
Keberangkatannya ke Cimahi merupakan titik balik dan kisah tersendiri
bagi Johannes. Sebenarnya ibunya bersikeras tidak mengizinkan Johannes
pergi, namun ia nekat menyelinap ke kapal dan baru menampakan diri saat
kapal hendak bertolak. Tindakan nekatnya itu membuat ibunya pasrah dan
berpesan agar pamannya mau menjadi pelindung baginya. Didikan pamannya
yang penuh disiplin berhasil menempa Johannes dan menjadikannya murid
yang berprestasi.
Tahun 1914, Johannes hijrah ke Batavia bersama
pamannya. Di Batavia, Johannes melanjutkan studinya di "Europeesch
Lagere School" (ELS), namun studinya hanya beberapa bulan saja, lalu ia
pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (sekolah untuk anak asli
orang Belanda, kini PSKD Kwitang), dan tamat tahun 1919. Setelah
menyelesaikan sekolah dasarnya, Johannes memilih sekolah campuran dari
berbagai golongan, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan
tamat tahun 1922.
Setelah menyelesaikan studinya, Johannes yang mencoba
mencari pekerjaan menemui kesulitan karena kursus-kursus yang dia
masuki hanya dikhususkan untuk anak Indo-Belanda. Oleh sebab itu,
Johannes menempuh pendidikan tinggi di sekolah kedokteran "STOVIA"
(School Tot Opleiding Van Indische Artsen) pada tahun 1930. Johannes
mulai bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930.
Pertama kali ia diangkat sebagai dokter pemerintah di
"CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo). Beberapa waktu kemudian ia
ditugaskan di Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus. Setelah itu
dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Emmanuel Bandung. Di rumah sakit
inilah, saat bertugas dari tahun 1931 sampai 1941, ia bertemu dengan
gadis pujaan hatinya yang kemudian menjadi istrinya (Wijarsih
Prawiradilaga). Ia adalah putri seorang widana yang kala itu menjadi
kepala asrama putri. Mereka menikah di Gereja Pasundan pada tanggal 19
Agustus 1933 dan dikaruniai 8 putri.
Setelah bekerja selama 11 tahun sebagai dokter
swasta, ia melanjutkan studi dan mendalami ilmu penyakit dalam. Tanggal
17 November 1939 dengan dipandu oleh dekan sekolahnya, Prof. J.A.M.
Verbunt, dan panitia pembimbing yang diketuai Prof. Siegenbeek van
Heukelom, Dr. Leimena mempertahankan disertasi Ph.D-nya dengan judul
"LeverfunctieĆ¢€”proeven bij Inheemschen" dan meraih gelar Doktor di
Geneeskunde Hogeschool/GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran), Batavia.
Perhatian Dr. Leimena pada pergerakan nasional
kebangsaan berkembang sejak pertengahan tahun 1920-an. Bermula di
Bandung, ia acapkali mendengar pidato Presiden Soekarno. Saat itu Dr.
Leimena belum akrab dengan Presiden Soekarno. Kedekatannya dengan
Presiden Soekarno bermula di rumah sakit tempatnya bekerja. Waktu itu
kesehatan Presiden Soekarno kurang baik setelah berkunjung ke Akademi
Militer di Tangerang, kemudian ia diperiksakan di rumah sakit tersebut.
Sejak itu hubungan mereka semakin erat.
Keprihatinan Dr. Leimena atas kurangnya kepedulian
sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa merupakan hal utama yang
mendorong niatnya untuk aktif pada "Gerakan Oikumene". Jiwa oikumene dan
nasionalis yang melekat pada dirinya tidak hanya mendorongnya terlibat
pada tugas profesionalnya (dokter) tetapi juga terlibat dalam aktivitas
politik. Sejak menjadi mahasiswa, ia sudah aktif di kalangan nasional
dan masuk organisasi politik "Sarekat Ambon" (Serikat Ambon). Sejak
tahun 1925 aktif dalam perkumpulan pemuda "Jong Ambon" sebagai Ketua
Umum serta turut dalam persiapan "Sumpah Pemuda" pada 28 Oktober 1928.
Pada zaman Jepang dan revolusi kemerdekaan ia pun
sudah ikut berjuang dan mengabdi penuh kepada Republik Indonesia. Tahun
1926, Dr. Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda
Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi
Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Selama di STOVIA, ia benar-benar
menunjukkan nilai kekristenan sekaligus kebangsaannya, yakni dengan
aktif di berbagai gerakan.
Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Dr. Leimena
mendirikan sekaligus menjadi ketua CSV (Christelijke Studenten
Vereeniging) yang pertama saat ia masih menginjak tahun ke-4 di bangku
kuliah. CSV merupakan organisasi ekstrakemahasiswaan yang merupakan
cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun
1950. Selain itu, ia juga terpilih sebagai ketua umum Partai Kristen
Indonesia (PARKINDO) tahun 1950-1957, 5 tahun setelah organisasi ini
dibentuk. Hal ini pula yang kemudian mengantarkannya ke berbagai jabatan
penting di pemerintahan.
Kepribadiannya yang sederhana dengan iman Kristen
yang sejati dan teguh membuatnya bisa diterima oleh semua golongan.
Sebagai pemimpin Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), ia selalu mendapat
tempat dalam berbagai kabinet karena pendiriannya untuk kepentingan
negara di atas segala-galanya. Selain di PARKINDO, Dr. Leimena juga
berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini
PGI) pada tahun 1950. Di lembaga ini ia pernah dipilih sebagai wakil
ketua yang membidangi komisi gereja dan negara.
Sebagai seorang tokoh politik, Dr. Leimena pernah
menduduki berbagai jabatan. Dr. Leimena pernah menjabat dalam 18 kabinet
yang berbeda (1946 -- 1966). Selain menjadi Menteri Kesehatan Indonesia
yang pertama, ia juga menjabat sebagai Menteri Kesehatan Indonesia yang
terlama (selama 21 tahun/delapan kali masa jabatan) dari 1945 -- 1966.
Ia juga menjadi pejabat Presiden RI tujuh kali. Bahkan menurut seorang
saksi sejarah, Roeslan Abdulgani, Soekarno yang seorang sekuler hendak
menyiapkan Leimena menjadi calon presiden, menurut Roeslan Abdulgani:
"Soekarno adalah Fenomeen Nasional yang mempunyai 'Zesde Zintuig'
(indera keenam); tujuh kali Leimena ditunjuk oleh Bung Karno sebagai
Pejabat Presiden; tidak terdengar suatu keberatan atau anti".
Ketika Orde Baru berkuasa, Dr. Leimena mengundurkan
diri dari tugasnya sebagai menteri, namun ia masih dipercaya Presiden
Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun
1973. Usai aktif di DPA, ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga
Kristen yang pernah ikut dibesarkannya, seperti Parkindo, DGI, UKI, STT,
dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi
Indonesia, kini PDI-P), Dr. Leimena diangkat menjadi anggota Deperpu
(Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat Direktur Rumah
Sakit DGI Cikini.
- Menteri Muda Kesehatan Kabinet Sjahrir II (1946)
- Wakil Menteri Kesehatan Kabinet Sjahrir III (1946 -- 1947)
- Menteri Kesehatan Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947)
- Menteri Kesehatan Kabinet Amir Sjarifuddin II 1947 -- 1948)
- Menteri Kesehatan Kabinet Hatta I (1948 -- 1949)
- Menteri Negara Kabinet Hatta II (1949)
- Menteri Kesehatan Kabinet Republik Indonesia Serikat (1949 -- 1950)
- Menteri Kesehatan Kabinet Natsir (1950 -- 1951)
- Menteri Kesehatan Kabinet Sukiman-Suwirjo (1951 -- 1952)
- Menteri Kesehatan Kabinet Wilopo (1952 -- 1953)
- Menteri Kesehatan Kabinet Burhanuddin Harahap (1955 -- 1956)
- Menteri Sosial Kabinet Djuanda (1957 -- 1959)
- Menteri Distribusi Kabinet Kerja I (1959 -- 1960)
- Wakil Menteri Utama merangkap Menteri Distribusi Kabinet Kerja II (1960 -- 1962)
- Wakil Menteri Pertama I Kabinet Kerja III (1962 -- 1963)
- Wakil Perdana Menteri II Kabinet Kerja IV (1963 -- 1964)
- Menteri Koordinator Kabinet Dwikora I (1964 -- 1966)
- Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Koordinator, dan Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pengetahuan Kabinet Dwikora II (1966)
- Wakil Perdana Menteri untuk urusan Umum Kabinet Dwikora III (1966)
Terlepas dari sikap nasionalis sekuler Dr. Leimena,
dia adalah seorang Kristen sejati. Kedekatan hatinya akan Tuhannya
terlihat dari sikap tulus dan beraninya, yang tampak dari berbagai sikap
dan perilakunya, misalnya pada peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia
meminta Soekarno untuk meninggalkan Halim yang disebut-sebut sebagai
Markas PKI menuju Istana Bogor. Ini merupakan langkah besar yang
menyelamatkan Indonesia. Contoh lainnya adalah ketika dia memprotes
sikap Soeharto yang kasar kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2
November 1965, padahal pada saat itu Soeharto memegang tampuk tertinggi
militer. Juga, dengan kebesaran hatinya ia berusaha membujuk Kolonel
Kawilarang untuk segera bertindak agar korban peristiwa RMS di Maluku
tidak semakin banyak.
Bagi Dr. Leimena, agama Kristen yang dianutnya tidak
menghalangi dirinya menjadi seorang nasionalis Indonesia. Demikian juga,
kenegarawannya sebagai seorang nasionalis Indonesia tidak menghalangi
dirinya menjadi pengikut Kristus.
Dr. Johannes Leimena meninggal dunia pada tanggal 29 Maret 1977 di Jakarta.
Dirangkum dari:
-
Nama situs : Balagu Penulis : Tidak dicantumkan Alamat URL : http://balagu.50webs.com/ Tanggal akses : 20 Agustus 2010 -
Nama situs : Kepustakaan Presiden-Presiden RI Penulis : Tidak dicantumkan Alamat URL : http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/ Tanggal akses : 20 Agustus 2010 -
Nama situs : KarmelReinnamah Penulis : Yohanes Reinnamah Alamat URL : http://karmelreinnamah.blogspot.com/ Tanggal akses : 20 Agustus 2010 -
Nama situs : Onosel.com Penulis : Tidak dicantumkan Alamat URL : http://www.onosel.com/index.php?option=com_content&view=article&id=18&Itemid=13 Link tidak berfungsi Tanggal akses : 20 Agustus 201
Catatan
Mulai 1 November 2011, situs Kepustakaan Presiden-Presiden RI dan Onosel.com tidak dapat diakses.
SUMBER ASLI : http://biokristi.sabda.org/dr_johannes_leimena
0 comments :
Post a Comment
Dengan Senang Hati Beta Menanti Basuara Sudara-Sudara.