Beta rekomendasi bagi semua basudara yang mengakui dirinya sebagai Orang Maluku di hari ini, dapat membaca tulisan ini "TANAH AIR BETA" oleh Wesly Johannes.
Tulisan ini membantu kita sebagai Masyarakat Maluku untuk memahami dengan benar siapakah kita di hari ini, dan gambaran fakta-fakta sejarah yang sangat terang untuk lebih menjelaskan lagi apakah beta dan ale di hari ini adalah orang Indonesia.?
Memahami masa lalu
Catatan ini adalah tanggapan terhadap pemikiran kawan-kawan saya,
Aprino Berhitu dalam catatannya “Siapakah Indonesia itu? - edisi I” dan
pemikiran Yusti Lewerissa dalam catatannya “Suatu Kegelisahan Menjadi
Orang Indonesia di Tanah Maluku.”
Satu hal kiranya menjadi jelas bahwa kekuasaan yang kita temui selama
ini tidak berada di daerah pinggiran, melainkan ia (kekuasaan) tetap
berada di tempat di mana ia dipernah ditegakkan secara paksa dengan
rupa-rupa kekuatan dan legitimasi.
Sama halnya dengan realita sejarah pada masa penjajahan. Kekuasaan
ditegakkan dengan penggempuran-penggempuran dan perjanjian-perjanjian.
Penaklukkan Tidore, Penaklukan Hitu, penaklukan Gowa, penaklukan Banten,
dan lainnya, adalah contoh paling jelas tentang bagaimana kekuasaan
ditegakkan dengan paksa.
Demikian pula ada banyak legitimasi digunakan untuk menegakkan
kekuasaan. Para penindas tahu betul bahwa kekuasaan tidak hanya mampu
ditegakkan secara keras melalui pemaksaan-pemaksaan dan
penggempuran-penggempuran semata. Kita tentu masih ingat
pengingkaran-pengingkaran perjanjian di banyak tempat pada masa
penjajahan. Belum terlalu jauh bagi kita untuk melupakan bagaimana
perjanjian-perjanjian itu harus dilakukan di bawah tekanan.
Perjanjian-perjanjian itulah yang di belakang hari menjadi legitimasi
untuk menjajah secara halus, atau pun memberangus gerakan-gerakan
perlawanan langsung atau sekedar pembangkangan-pembangkangan kecil.
Melalui perjanjian-perjanjian yang disangka aman itulah legitimasi untuk
monopoli dan penindasan diperoleh.
Begitulah wajah kekuasaan yang bisa kita temukan bahkan dalam negara
kita yang sudah merdeka. Rezim Soeharto yang berumur panjang adalah
kenyataan tentang bagaimana kekuasaan beroperasi tidak hanya melalui
kekuatan-kekuatan intimidasi, tetapi melalui legitimasi-legitimasi agar
terlihat sebagai tanggung jawab. Sehingga tidaklah mengherankan jika
sampai hari ini Soeharto masih dihormati oleh banyak orang dan sosok
presiden sepertinya masih dirindukan.
Persoalan bagaimana negara ini memperlakukan rakyatnya yang di
Maluku, sebagaimana tampak dalam catatan Aprino Berhitu, mungkin harus
ditarik jauh ke belakang. Sebab menurut saya ini bukan hanya persoalan
deviasi sistem politik yang beroperasi melenceng dari tujuan negara,
atau perampokan negara oleh kelompok tertentu yang menjadikannya sebagai
alat untuk semata-mata berkuasa dan memperkaya diri, melainkan ada
endapan-endapan sejarah pahit yang sampai hari ini terus diekplorasi
untuk mereproduksi sejumlah kecurigaan aparatur negara atas rakyatnya
sendiri.
Bagi saya ada dua persoalan penting yang menempatkan Maluku ke dalam
posisi yang cenderung dicurigai sebagai yang tidak setia kepada negara.
Hal-hal yang menempatkan orang Maluku pada posisi yang tidak
sungguh-sungguh di luar, tetapi juga tidak sungguh-sungguh di dalam.
Suatu posisi abu-abu yang merugikan. Berikut dua isu yang saya
maksudkan.
Pertama, sejarah panjang identifikasi orang Maluku dengan Belanda (penjajah).
Identifikasi diri yang gagal tetapi berdampak. Orang Maluku (umumnya
yang beragama Kristen, meski tidak seluruhnya) dibesarkan oleh Belanda
dengan sejumlah hak istimewa dan perlakuan khusus untuk kemudian
diperalat. Hal ini membuat mereka cenderung mengidentikan diri dengan
penjajah, dan bukan dengan sesama orang Maluku maupun orang lain di
nusantara yang pada waktu itu terjajah. Loyalitas dan identifikasi diri
dengan Belanda adalah propaganda politis yang diterima begitu saja pada
masa itu dan menjadi populer.
Semenjak itu, pemahaman publik tentang orang Maluku menjadi ambigu.
Di mata Belanda, mereka adalah pribumi yang diperalat. Mereka bagian
dari yang dijajah tetapi berusaha mengidentikan diri dengan panjajah
karena kenikmatan-kenikmatan yang diperoleh. Pada saat yang sama mereka
juga tidak dipandang sebagai bagian dari masyarakat lain yang terjajah.
Kita tahu bahwa orang Maluku tidak pernah bisa berubah menjadi orang
Belanda bagaimana pun kerasnya mereka berusaha, sedangkan pada saat yang
sama mereka tidak lagi dipandang sebagai bagian dari orang-orang
pribumi yang terjajah. Karena itulah mereka (orang Maluku) berpotensi
untuk dicampakkan oleh kedua-duanya. Jika sewaktu-waktu tatanan politik
dan sosial berubah.
Keistimewaan semu yang dinikmati ini berlangsung lama sampai pada
masa di mana Jepang mengusai Ambon pada 31 Januari 1942. Kaki tangan
Belanda, raja-raja, pegawai administrasi, dan juga pemimpin-pemimpin
agama digantikan dengan tokoh-tokoh nasionalis. Dari sinilah kita
mengenal Elisa Urbanus Pupella, pimpinan Sarekat Ambon, yang diangkat
oleh Jepang sebagai Bun ken cho (Head of Subregency) Pulau Ambon. Organisasi-organisasi kepemudaan seperti Seinendan dan Ambon Hookoo kai
juga dipimpin oleh tokoh-tokoh muda nasionalis. Gereja yang selama ini
menikmati keistimewaannya dalam kekuasaan Belanda juga kehilangan hal
itu. Pada saat yang sama Jepang mendirikan Djamijah Islamijah Ceram dan
mendorong kebangkitan Islam di Maluku. Dengan begini maka Jepang
berhasil menggeserkan tatanan masyarakat yang lama yang ditukangi oleh
Belanda. Jepang tidak akan menempuh jalan ini jika mereka tahu ada lebih
banyak orang yang pro Belanda daripada cita-cita Indonesia merdeka.
Sesudah proklamasi kemerdekaan, dalam bulan September 1945, Belanda,
dengan bantuan tentara Australia, berhasil menduduki Ambon namun tidak
berhasil mengubah struktur sosial yang sudah digeserkan Jepang
sebagaimana dituliskan di atas. Suatu perasaan tidak nyaman sedang
melanda semua pihak yang mendapat keuntungan dan kenikmatan di bawah
penindasan Belanda.
Kedua, proklamasi RMS 1950.
Konteks Nasional
Apa yang sampai hari ini menjadi polemik terselubung adalah perihal
meleburnya satu demi satu negara bagian ke dalam satu negara bagian yang
bernama Republik Indonesia. Model unitaris atau kesatuan Indonesia
seperti yang diharga-matikan sekarang ini baru menemukan bentuknya pada
17 Agustus 1950 setelah sebelumnya pada 27 Desember 1949 Kerajaan
Belanda dan semua negara bagian juga daerah otonom bersama-sama
menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia Serikat.
Hal penting dari peristiwa bersejarah ini adalah pada waktu ini
Republik Indonesia juga menyerahkan kedaulatannya kepada Republik
Indonesia Serikat, suatu negara federal yang baru dibentuk bersama-sama
dengan negara-negara lain di Indonesia, juga daerah-daerah otonom
lainnya. Hal ini bisa dibaca dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat
yang juga turut ditanda-tangani oleh Moh. Hatta sebagai pemimpin
delegasi Republik Indonesia bersama-sama dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah Perhimpunan untuk Permusyawaratan Federal. Negara
Indonesia Timur adalah satu dari dua negara bagian yang paling terakhir
melebur ke dalam Republik Indonesia.
Banyak orang beranggapan bahwa negara-negara bagian ini adalah wayang
yang digerakan oleh Belanda, namun pada kenyataannya model federasi
untuk wilayah penjajahan yang digagas Van Mook ini memang tidak berjalan
seperti yang dikehendaki Belanda. Lagi pula ada klaim bahwa penyerahan
kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia tidak menyertakan
kerajaan-kerajaan yang mengklaim diri tidak pernah dijajah atau tidak
pernah mengakui kedaulatan Belanda.
Di samping pergulatan pembentukan negara sebagaimana tertulis di atas
itu, terjadi juga beberapa ‘pemberontakan’ secara beruntun yang turut
mewarnai perjalanan negara ini, termasuk Republik Maluku Selatan.
Konteks Lokal
Pada tahun 1946 dan 1948, Ambon yang pada waktu itu menjadi pusat
Daerah Maluku Selatan mengadakan pemilihan Dewan Maluku Selatan (DMS).
Pada dua kali pemilihan itu, Partai Indonesia Merdeka (PIM) yang
dipimpin oleh Elisa Urbanus Pupella unggul. Pemimpin-pemimpin partai ini
sebagian besar beragama Kristen, namun mayoritas pendukungnya beragama
Islam. Ini adalah fenomena baru di Ambon masa itu yang menunjukkan telah
terjadi perubahan mendasar dalam struktur masyarakat.
Sekali pun Dewan Maluku Selatan (DMS) didominasi oleh tokoh-tokoh PIM
yang nasionalis, tetapi tidak berarti bahwa mereka sepenuhnya berhasil
mengendalikan masyarakat Ambon. Pada bulan Desember 1949, Republik
Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan setelah pemberontakan APRA di Jawa
Tengah dan Andi Azis di Makassar. Para pendorong proklamasi RMS adalah
para politisi yang baru kembali ke Maluku pasca kemerdekaan dan setelah
kehilangan pengaruh politiknya di tempat lain. Sebut saja Ir. J. A.
Manusama dan Dr. Chr. Soumokil. Manusama menyingkir dari Jawa ke
Makassar. Di Makassar ia memulai karier politiknya dalam senat Negara
Indonesia Timur, namun tidak lama sesudah itu dia menyingkir ke Ambon.
Di Ambon dia menjadi anggota DMS mewakili orang-orang Ambon yang pada
waktu revolusi baru pulang kembali ke Ambon. Seperti Manusama, Soumokil
baru berkunjung ke Ambon dua kali, itu pun dalam waktu sangat singkat,
pada masa ia menjadi Menteri di Negara Indonesia Timur dan baru pulang
ke Ambon pada saat kekacauan akibat pemberontakan Andi Azis di
Makassar. Baik Manusama mau pun Soumokil, keduanya baru pulang ke
Ambon.
Di Ambon, Manusama dan Soumokil berusaha untuk mendapat dukungan dari
para raja dan tentara KNIL asal Ambon yang baru datang dari berbagai
tempat untuk menunggu alih status dari anggota KNIL menjadi anggota TNI.
Para tentara KNIL yang datang ke Ambon waktu itu berjumlah sekitar 2000
orang. Mereka inilah yang kadang melakukan tekanan kepada masyarakat
dan karena itu pernah bentrok dengan pemuda-pemuda nasionalis di Ambon
(Lebih detil, baca Chauvel: Republik Maluku Selatan and Social Change in Ambonese Society During the Late Colonial Period. Bisa diunduh di http://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/4039?show=full ).
Dalam konteks yang demikian itu, Proklamasi Republik Maluku Selatan
dapat dipandang sebagai upaya sekelompok orang untuk mempertahankan
status dan pengaruhnya, atau untuk mengembalikan posisi dan pengaruhnya
dalam masyarakat, sama seperti yang mereka pernah alami pada masa
penjajahan Belanda.
RMS karena alasan itu tidak dapat dipandang sebagai suatu gerakan
politik yang memperjuangkan hak-hak rakyat Maluku pada masa itu,
melainkan berdampak sebaliknya. Sebagaimana dikatakan juga oleh Gerrit
Siwabessy: “Masyarakat Maluku – terutama para pejuangnya – menderita
akibat dikeluarkannya apa yang dinamakan “proklamasi” (proklamasi RMS)
tersebut. Itu merupakan tindakan yang artifisial dan membawa pengaruh
buruk di dalam maupun di luar negeri.” Banyak orang Maluku tahu nama Wim
Reawaruw hanya sebagai salah satu nama jalan di kota Ambon, tetapi
mungkin sudah tidak tahu lagi apa yang dilakukannya dan apa yang
dialaminya pada masa itu. Itulah yang dimaksud dengan penderitaan akibat
fungsi teror yang dimainkan para eks KNIL yang pro Republik Maluku
Selatan.
Dua hal ini yang bagi saya sangat mempengaruhi percakapan-percakapan
tentang orang Maluku: “bekas abdi setia penjajah dan bekas pembelot.”
Endapan sejarah inilah yang mewarnai percakapan tentang Maluku dalam
bingkai Negara Indonesia di kemudian hari bahkan sampai sekarang ini.
Endapan sejarah ini pula yang memungkinkan kita pada beberapa tahun lalu
mendengar frasa ‘Kristen RMS’ [‘Islam Nasionalis’] pada masa perang
saudara di Maluku. Suatu endapan sejarah yang memang berpotensi merusak
Maluku jika tidak dipahami secara spesifik pada konteksnya.
Kristen RMS, atau Maluku RMS pada dasarnya adalah generalisasi yang
mengandung bahaya. Ia bisa berbuah kecurigaan, melahirkan diskriminasi,
atau bahkan melegitimasi pemberangusan identitas. Inilah bagian
tersembunyi dari hal-hal yang digugat dan diperdebatkan oleh Aprino
Berhitu dan Yusti Lewerissa, di samping persoalan deviasi tugas-tugas
politik aparatur negara yang juga tidak kalah menyengsarakan rakyat
Indonesia di mana-mana termasuk di Maluku.
Sesudah periode di mana gerakan-gerakan keluar dari Indonesia terjadi
secara beruntun, desentralisasi (Otda dan Otsus) ditawarkan sebagai
solusi keterpusatan pembangunan dan kerancuan identitas, namun jalan
yang ditempuh ini tanpa sengaja telah membangkitkan kenangan yang tidak
lain adalah ketakutan terhadap disintegrasi.
Di dalam kondisi seperti itulah kita mempercakapkan identitas kita,
orang Maluku di Indonesia. Bagi saya, sesungguhnya tidak ada ‘orang
Indonesia’ secara hurufiah. Sebab bagi saya, istilah ‘orang Indonesia’
menunjuk pada identitas kultural, sedangkan kita sama-sama mengetahui
bahwa tidak ada budaya Indonesia dalam arti hurufiah. Budaya Indonesia
susungguhnya adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.
Kita tentu masih ingat pemberangusan tatanan sosial dan budaya
masyarakat Maluku yang nyata-nyata dilakukan pemerintah, seperti
bagaimana struktur desa dipaksakan berlaku di seluruh wilayah negara
ini. Ini satu contoh kecil bagaimana pemerintah bisa salah menerjemahkan
apa yang dimaksud dengan budaya Indonesia dan apa yang dimaksud dengan
menjadi orang Indonesia.
Menjadi orang Maluku di Indonesia adalah urusan orang Maluku, bukan
urusan negara. Urusan negara adalah bagaimana tanggung jawab orang
Maluku sebagai warga negara. Sampai hari ini saya belum menemukan ada
seseorang yang berhasil menjadi ‘orang Indonesia’ dalam arti hurufiah,
tetapi saya mengetahui di Maluku ada banyak warga negara Indonesia yang
bertanggung jawab. Orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia sampai
hari masih memperbincangkan Johanes Leimena, Alexander Jacob Patty, dan
lainnya sebagai teladan.
Lebih dari itu saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi sesuatu yang
tidak mungkin, seperti menjadi ‘orang Indonesia.’ Menjadi orang Maluku
sudah cukup bagi saya, juga sudah cukup untuk bisa hidup di negara yang
sejatinya menerima dan menjamin hak-hak hidup saya sebagai warganya.
Tentu dalam semua yang unik yang saya miliki sebagai orang Maluku.
Saya hendak mengatakan bahwa kita semua yang hidup di Maluku hari ini
berusaha sekeras-kerasnya untuk menjadi warga negara yang baik dengan
cara memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Warga negara yang tidak
hanya taat kepada pemerintah, tetapi juga warga negara yang berani
melawan pemerintah. Melawan pemerintah yang salah jalan adalah cara
warga negara ini menjaga negaranya. Meski pun dalam tatanan politik dan
birokrasi pura-pura, penuh kepatuhan buta, juga pengkambing-hitaman
macam sekarang ini melawan pemerintah yang salah jalan kadang dengan
mudah akan dianggap gerakan-gerakan makar. Apalagi untuk daerah-daerah
dengan latar sejarah seperti Maluku.
Mungkin benar bahwa orang Maluku selama ini memahami dirinya terlepas
dari Indonesia, sebagaimana dituliskan Yusti Lewerissa tetapi saya
mencurigai keadaan ini sebagai yang bukan tanpa sebab. Monopoli
informasi sekaligus monopoli kebenaran sejarah yang jadi penyebab utama
lahirnya rezim otoriter masih terus berlanjut ditambah lagi dengan
monopoli pembangunan yang coba diselesaikan dengan desentralisasi namun
tersandung juga pada masalah pembiayaan hidup aparatur negara yang
menghabiskan lebih dari separuh dana pembangunan sehingga sekali lagi
masyarakat harus menelan ludah saja, sambil menyaksikan alat-alat negara
berpesta dengan uang yang namanya APBN dan APBD. Puluhan tahun setelah
kemerdekaan belum ada jalan raya menuju Negeri Ema, puluhan tahun
sesudah kemerdekaan belum juga ada sekolah di pegunungan Seram, puluhan
tahun sesudah kemerdekaan Maluku masih saja Maluku yang tidak setia di
mata pemerintah.
Lantas, atas dasar apa orang Maluku bisa memahami dirinya sebagai
yang integral dari negara Indonesia, sedangkan realitas bernegara yang
dialami sama sekali berkata sebaliknya? Di samping kecintaan orang
Maluku kepada negara ini, pemerintahlah yang seharusnya menyediakan
alasan agar orang Maluku bisa menjawab pertanyaan ini.
Persoalan yang terakhir inilah yang selalu mengecewakan saya. Sampai
pada saat ini masih ada, baik pemerintah mau pun orang Maluku sendiri,
yang memahami upaya orang Maluku menjadi warga negara Republik Indonesia
yang bertanggung jawab sebagai kompensasi terhadap masa lalunya.
Sehingga tampak wajar bila sekarang ini orang Maluku tidak memperoleh
apa-apa yang menjadi haknya sebagai warga negara, atau tidak
diperlakukan sebagaimana layaknya warga negara. Suatu hal yang pantas
diterima sebagai tebusan.
SUMBER ASLI : klik disini
SUMBER ASLI : klik disini
0 comments :
Post a Comment
Dengan Senang Hati Beta Menanti Basuara Sudara-Sudara.