Kilas balik beberapa bulan kemarin di Maluku,di website-website portal, media-media lokal, juga media elektronik menampilkan satu euporiah World Cup 2010 yang semaraknya mempengaruhi sampai ke penjuru Maluku, dan kota Ambon secara khusus yaitu di antara para maniak/pencita/fans sepak bola antar negera-negara di dunia itu.
Suatu fakta di Maluku, bahwa tim Singa Oranye dari Belanda mendapat presentasi lebih di antara fans bola dari negara yang lain, yang berlaga pada World Cup di Afrika Selatan kemarin. Terbukti begitu maraknya euphoria fans fanatik tim Oranye, dengan bendera-bendera yang dipasangkan di atas gedung, di atas pohon-pohon yang mencolok agar menarik perhatian orang. baleho-beleho begitupun spanduk yang dipasangkan di ruas-ruas jalan, dan konvoi-konvoi kendaraan bermotor yang berlanjut dalam jumlah ribuan setelah kemengan tim Oranye setiap laga pamungkasnya di World Cup (info: yang paling menghebohkan adalah saat Oranye menaklukan Tim Samba Brazil 1-2, Polisi lalu lintas menjadi repot sekali di jalan raya karena jumlah konvoi kendaraan bermotor membanjiri jalan raya kota Ambon Manise).
Klimaksnya ketika Belanda dikalahkan oleh tim Matador Spayol di partai final, dapat diprediksikan oleh kita semua, pasti akan memicuh beragam konflik di kota Ambon dan sekitarnya. Jujur sebagai fans sejati The Holland, saya tidak setuju dengan fanatisme yang berlebihan dari rekan-rekan (sesama fans) yang berlaku anarkis dan tidak realistis ini. Jika di akhir euphoria yang situasional seperti World Cup 2010, harus menanamkan dampak dekonstruktif di masa kekinian pembangunan kota Ambon yang sudah berangsur membaik dari situasi-situasi sebelumnya.
Menjelang World Cup 2010 sampai pada partai Semi Final di mata para fans Belanda di Kota Ambon, bahwa salah satu alasan dari yang lainnya, yaitu: ada nyong-nyong Ambon yang berkiprah di dalam timnas Belanda, saya setuju. Bahwa rasa memiliki, hegemoni sukuisme yang wajar, di mana tersimpul dalam frasa ALE RASA BETA RASA (Anda dan Saya turut merasakan suatu dari kondisi), atau KATONG SATU DARAH (kita satu ikatan geneologis) yang secara tidak langsung mencerminkan kultur kemalukuan dan terbangun saat perhelatan World Cup berlangsung. Yakni diharapkan menambah optimisme untuk generasi Maluku agar mampu menciptakan sejarah sebagai pemain sepak bola Maluku di masa-masa yang akan datang, dan berkaca dari prestasi yang telah mereka tontonkan adalah satu hal patut kita doakan dan upayakan dari semua pihak. Baik masyarakat maupun pemeritah.
Ironisnya, pada partai Final ketika Belanda kalah dari Spayol di masa-masa kritis perpanjangan waktu, efek yang saya cermati di kota Ambon, adalah justru kultur kolonial yang muncul secara sporadis dari sejumlah fans yang mengatakan diri mereka fans sejarti tim Oranye. Kultur kolonialisme muncul di antara para pencinta bola tim Belanda di Maluku; bahwa kecendrungan memaksakan kehendak seakan-akan Belanda (para fans) harus memenang atas Spayol (para fans) pada partai Final seperti pada partai 16 besar/8 besar sebelumnya. Hal ini yang disayangkan dan sangat disesali oleh saya.
Sehingga implikasi dari semuanya itu emosional yang berlebihan akhirnya meledak, ketika dengan satu, dua, atau tiga alasan sepele yang terjadi secara alami di antara para fans Belanda VS fans Spanyol, kemudian menghasilkan konfllik kekerasan. Paralelnya, saya hendak mengingatkan dan memberi alarm, demi terwujudnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas di Maluku dewasa ini, dan kedepannya; adalah kultur kemalukuan begitu penting untuk dimajukan, dan ditingkatkan. Yakni kembali menggali makna di dalam budaya Pela-Gandong, Lavur Ngabal, Kida Bela, Kai-wai, atau disimpulkan dalam Salam-Sarane. Dengan stabilitas keamanan dan kenyamanan kehidupan social masyarakat kota Ambon di masa kini adalah jaminan terbangunnya Maluku yang kuat di masa depan, dalam konteks menghasilkan produk pembangunan masyarakat yang berkualitas.
Sebaliknya, tingkatkan kesadaran kita masing-masing bahwa salah satu alasan mendasar di antara alasan yang lainnya, yaitu kecendrungan kita dan belum menyadari akan hal ini, bahwa “kultur kolonial yang meninggalkan bom waktu bagi konflik Maluku” (di kutip: Tim Penulis Majelis Ulama Indonesia, MERAJUT DAMAI DI MALUKU, Jakarta: pt intermasa, Cetakan 1). Ketidak hati-hatian dalam memperhitungan secara rasional bentuk-bentuk efek logis dari suatu aksi akan berpengaruh pada keberlangsungan hidup bersama sebagai suatu kehidupan masyarakat kota Ambon.
Dengan demikian hal ini patutlah untuk saling mengingatkan, agar tetap siuman kalau masyarakat kota Ambon memiliki dan tersimpul dalam dasar-dasar kultur kemalukuan yang positif dan sportif.
Justru tayangan live RCTI (saat partai Final world Cup 2010, setelah prosesi selebrasi kemenangan tim Spayol di atas tribun, dan sebelum memasuki lapangan untuk selebrasi lanjutan, timnas Belanda dengan sportivitasnya membuat pagar hidup dan memberikan ucapan selamat bagi tim Spayol) cukup jelas mengabadikan suatu momen yang berharga ini. Dan jarang dipertontonkan sebelumnya di ajang penuh gengsi partai Final seperti yang telah dipertontonkan oleh sportivitas timnas ORANYE terhadap rivalnya pada laga tersebut.
Terakhir sebelum menutup posting saya ini, fenomena langkah yang dipertontonkan secara live oleh timnas Belanda (termasuk di dalamnya ada Nyong-Nyong Ambon Blaster) dalam menjujung sportivitas mereka yang penuh dengan banyak sekali pesan moral, disesali salah di interpretasikan oleh fans fanatiknya di belahan bumi lain, yaitu di Maluku dan terkhususnya di Kota Ambon dan sekitarnya. [SA.95]
HUP HOLLAND..!!!!
AMBONES DI ANTARA HOLLAND DENGAN ESPANYOL; Kilas balik piala dunia 2010
Label
Putar Handeke
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments :
Post a Comment
Dengan Senang Hati Beta Menanti Basuara Sudara-Sudara.