Badiri di tanjong bunga karang
Dapa lia ba'sar sabuku mai
Tampa bajejer mariam, wapeng, sampe kalewang
Akang atlepa di jiku pante batu tabadiri
Dorang tukang kabualang ulang aleng
Laste takort musti putus bage dua di ujung parang
Itu makaart katong turunkan dar gunung saniri
Kahua Kabaressi para Kapitang deng Malessi
Hetu Uliaser bukang asal sabarang
Ale sala ale dapa, ale karas dapa pilang
Sei hale hatu, hatu lisa pei
Sei lesi sou, sou lesi ei
» Read More...
"Ingatang ale ana e balajar bae-bae, supaya dong dapa hidop; biar deng kurang-kurang musti dong jadi Orang. Sebab lebe bae pikol tas par pi kantor, mar jang dudu di muka tungku".
Mungkin kalimat ini, beta mencoba mereduksi gaya bicara orang tatua dulu-dulu (khusus di Maluku) yang mendorong anak-anak gadis mereka, untuk bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Sebab ada juga semacam budaya diskriminatif lainnya dari orang Tatua dulu-dulu kepada anak-anak perempuan mereka yang begitu membatasi hak-hak (khusus di bidang pendidikan) mereka, dan menariknya fakta inipun masih berlangsung sampai hari ini dikampung-kampung. Sebagai contoh ada suatu pernyataan seperti ini, yang pernah beta dengarkan dari salah satu orang tua, yaitu "lebe bae katong kas skolah katong pung ana-ana laki-laki, dong abis skola, dong bisa karja, kaweng bawa masuk keturunan par katong dan masi pulang pokok; dari pada kas skola ana-anak parampuang, abis skola dong kaweng par orang pung untung, meski dong su jadi manusia". tapi pada bagian ini, mungkin beta akan membuat lagi sebuah posting secara terpisah untuk membahas tentang produk budaya dalam pola pikir yang mendiskriminasi semacam ini, yang perlu diadvokasi dalam tulisan-tulisan yang bersifat solutif lainnya.
Oke kembali lagi pada pernyataan yang pertama diatas, bahwa mereka orang tatua selalu mengingatkan kepada anak-anak mereka agar selalu belajar dengan tekun, sehingga pada akhirnya mampu mendapatkan masa depannya; dengan semacam analogi yang ditambah-tambahkan, seperti tercermin dari kalimat diatas yaitu : lebih baik pikul tas (ada semacam prestise tersendiri), dari pada hanya duduk di muka tungku api (semacam sindiran untuk anak-anak perempuan yang gagal, dan katanya hanya bisa menjadi pekerja di dapur, saat menjadi ibu rumah tangga).
Tidak ada yang salah dengan kalimat-kalimat semacam ini, tapi ada yang harus digaris bawahi, bahwa kalimat diatas mungkin relevan pada masa lalu, tetapi pada masa sekarang ini harus dikritisi kembali. Karena sangat disayangkan sekali dengan adanya budaya berpikir semacam ini (lihat pernyataan diatas) yang masih diterjemahkan secara utuh dan harafiah, sudah pasti menimbulkan sejumlah permasalahan baru sehingga banyak generasi Muda Maluku menjadi tidak produktif dewasa ini. Kenapa?
Mari beta memberikan beberapa contoh riil yang beta amati dan teliti selama ini, saat melakukan diskusi dengan sejumlah Jujaro-mungare (anak muda perempuan dan anak muda laki-laki) di Maluku yang berada di beberapa daerah, dan begitupun dengan para orang tua. Semoga saja membantu memberikan perspektif lain bagi generasi kita di Maluku saat ini.
» Read More...
Ya HUA yang satu
Ya HUA yang esa
KuasaMu tinggi seperti gunung Batu
Bahkan luas sampai di timur meliputi tanah
di Halmahera..
Sebait Doa penuh duka dan nestapa
Sebait Doa pengantar damai yang dirampas
Sebait Doa menguatkan beta pung basudara
Sebait Doa untuk mengingatkan mereka yang tamak dan Haus..
Tanah ini adalah firdaus,
melambangkan Halmahera yang harus dijaga dan dikelola kerena mereka,
disana para penjaga tanah surga
telah di jarah hak-haknya dengan paksa
» Read More...