Bukan suatu euphoria ketika ada yang memberikan pujian (masyarakat negeri lain di Lease) terhadap orang Booi yang memiliki kelebihan dalam suatu pekerjaan mereka membangun sebuah bangunan. Entah itu dalam membangun sebuah Rumah, bangunan Sekolah, bangunan Gereja, dll. Sebenarnya dalam sekilas mata, mereka (para Tukang = yaitu sekelompok buru bangunan, yang di dalamnya terdapat spesialis tukang kayu, spesialis tukang batu, dll) memiliki kemampuan yang terorganisir dan cepat dalam bekerja dengan kualitas terbaik, memang sudah menjadi bakat alami.
Namun jika ada yang bertanya, kenapa mereka (tukang dari Booi) bisa terkenal dengan kualitas kerja mereka seperti itu, maka jawabannya akan saya jawab dalam postingan ini. Terkait dengan kualitas kesuksesan Tukang dari Booi, berawal dari sebuah legenda "Air Tukang" atau juga dapat di katakan Mitos yang menghubungkan marga/fam Soumokil yang ada di negeri Booi sebagai Founding Fathers kualitas kerja Tukang di negeri Booi.
Beginilah ceritanya :
Di suatu malam, persis di bawah terang bulan purnama dekat rumah seorang pemuda (yang bermarga Soumokil), ia hendak mencari suatu tempat yang nyaman untuk menikmati terang bulan purnama malam itu yaitu di sebuah kolam air, yang biasa dipakai orang pada saat itu untuk keperluan minum dan mencuci, terdengar suara canda dan tawa nona-nona. Setelah di tengok dari balik pepohonan, ia melihat ada 7 orang gadis/nona yang cantik dan rupawan sedang mandi sambil bercanda satu dengan yang lainnya.
Pemuda tersebut menyadari bahwa nona-nona itu bukan dari ras manusia, tetapi ke 7 nona tersebut berasal dari "Kayangan" dunia dewa-dewi. Alasannya tidak ada diantara mereka yang di kenali, sebab tidak ada nona-nona dari negeri Booi yang cantik dan rupawan menandingi ke 7 nona yang ia lihat pada saat itu. Karena kecantikkan mereka ia tertawan hati untuk bisa memiliki satu dari antara mereka, dan setelah ia mencermati sekitar kolam itu, ada 7 buah pakaian putih yang lengkap dengan sayap masing-masing milik nona-nona tersebut.
Dengan harap-harap cemas, pemuda tersebut mulai mendekati kumpulan pakaian itu, dan mencuri 1 pasang sayap dari antaranya. Tujuan pemuda itu berhasil tanpa di ketahui oleh mereka. Setelah tiba waktu ke 7 nona dari kayangan tersebut selesai mandi dan hendak pulang ke asal mereka, baru disadari bahwa adik bunggsu mereka tidak memiliki sayapnya untuk terbang ke Kayangan. Sudah pasti merupakan sebuah kesedihan besar yang terjadi di antara mereka, dimana harus berpisah dengan adik bungsu atas kecelakaan yang menimpah adik bungsu mereka. Namun kenyataan ini tidak bisa terhindarkan, ke 6 kakak-kakaknya harus kembali, sebab cahaya rembulan sudah hampir redup dan dengan berat hati mereka harus meninggalkan adik bungsunya, dengan perjanjian setelah sayapnya di temukan ia (adik bungsu) segera kembali pulang dan berjumpa dengan keluarganya kembali.
Di Balik pepohonan mata pemuda merekam semua yang terjadi pada saat itu, hingga fajar mulai menyingsing pemuda itu tetap terjaga untuk memantau perilaku nona itu, sebab yang terlihat, nona itu hanya duduk murung di pinggir kolam air tersebut dan menangis sedih. Dengan berprilaku yang terkesan tidak mengetahui segala kejadian yang sementara dialami oleh nona tersebut, pemuda itu mulai mendekatinya sambil menanyakan kronologis yang merupakan sebab, kenapa sampai nona tersebut akhirnya menangis di pinggir kolam air tersebut. Dengan sikap care yang ditampilkan pemuda tersebut, nona itu akhirnya menerima tawaran tumpangan oleh seorang pemuda yang berasal dari kalangan manusia (yang juga sebagai manusia pertama yang di temuinya) pada saat itu.
Singkat cerita, mereka akhirya kawin dan hidup bersama-sama dan di karuniai 2 orang anak laki-laki. Mereka hidup dengan bahagia, sampai dengan suatu saat ibu dari kedua anak itu hendak membersihkan atas loteng (bagian plavon) rumah mereka yang terbuat dari susunan bambu. Dengan tidak sengaja ia melihat sebuah bambu Patong (sebutan terhadap salah satu jenis bambu di Maluku Tengah yang berukuran besar) yang tersumbat dengan sebuah penutup, dan tersusun di antara belahan bambu lainnya sebagai palvon rumah mereka. Dengan keingin tahuan apa isi dari sebuah wadah dari bambu itu, ibu mulai membukanya dengan hati-hati. Ia dikagetkan dengan isi wadah bambu tersebut, bercampur rasa kesal terhadap suaminya, rasa senang terhadap barang temuannya (yaitu sayapnya), dan rasa rindu untuk kembali ke tempat asalnya dan juga menepati janji terhadap saudari-saudari perempuannya, ia dengan tenang menanti saat yang tepat untuk kembali ke negeri Kayangan.
Sampai pada datangnya waktu bulan purnama, kebetulan sekali waktu itu ayah dari anak-anak sementara bekerja di kebun dan harus menginap di rumah kebun, maka hari itulah yang telah lama di tunggu-tunggu oleh ibu (nona dari kayangan) anak-anak tersebut. Ia mulai naik ke loteng mengambil sayapnya, dan memanggil kedua anaknya dan menjelaskan apa yang sementara terjadi sampai dengan saat itu, dimana ibu harus meninggalkan kalian dengan ayah kalian dan harus kembali ke negeri Kayangan. Sambil membuat api unggun, maka ia berkata kepada anaknya: "ibu akan naik dengan bantuan asap api ini, namun tanggung jawab dan kasih sayang ibu kepada kalian akan selalu ada, jadi setiap bulan purnama datanglah di tempat ini, dan kumpul api (buatlah api unggun) di sini maka ibu akan memberikan ole-ole (kiriman hadiah) bagi kalian selalu. Tapi ingatlah baik-baik, tali pengikat setiap ole-ole jangan sekali-kali diputuskan dengan cara memotongnya dengan pisau atau parang, sebab jika di potong ole-ole dari ibu tidak akan ada lagi bagi kalian".
Maka terbanglah ibu anak-anak itu kembali ke negeri Kayangan dan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Tibalah ayah di pagi hari dan dijumpailah anak-anaknya sementara menangis dan di ceritakanlah apa yang mereka dengarkan dari ibu kepada mereka, maka sangat bersedih hati mereka bertiga. Dan untuk memastikan apakah benar isterinya sudah kembali ke tempat asalnya, ia mencari bambu patong di atas plavonnya, dan benar bahwa sudah kosong bambu yang dahulu berisikan sayap yang di curinya dari salah satu nona kayangan saat itu, yang sekarang adalah ibu dari kedua anaknya. Namun tidak mengapa dalam hati ayah saat itu, sebab ada sebuah ikatan emosional antara ibu dan anak-anak juga dengan dirinya; sebab seperti yang diceritakan oleh anak-anaknya, bahwa ibunda mereka telah berjanji untuk memberikan mereka ole-ole setiap bulannya.
Bulan purnama pun tiba, seperti yang dijanjikan oleh ibu mereka, mereka (anak-anak dan ayah mereka melakukan cara yang sama dengan anjuran ibunda) mulai membuat api unggun; dan dalam beberapa saat tiba-tiba ada ole-ole yang mereka temukan di sekitar tempat itu. Setelah dibukakan di dalam ole-ole itu ada segala keperluan dari anak-anaknya yang ibunda mereka kirimi, dan juga ada surat yang di tuliskan kepada ayah mereka. Dan di akhir surat itu tertulis untuk mengingatkan kembali kalau setiap ole-ole tidak boleh di putuskan tali pengikatnya dengan pisau atau parang, untuk itu harus di buka simpulnya dengan tangan.
Maka bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, ole-ole selalu mereka dapatkan, namun ada suatu perubahan yang terjadi pada ole-ole tersebut, tali pengikatnya semakin sulit untuk di buka simpulnya. Dan pada saat yang tepat untuk memperoleh ole-ole dari ibu mereka, pada saat itu ole-ole yang mereka dapatkan begitu besar sekali wadahnya, dan tentunya ikatan simpulnya sangat sulit mereka membukanya dengan tali. Sampai kurang lebih satu minggu ole-ole itu tidak dapat di bukakan, maka mereka bertiga sepakat untuk memutuskan tali pengikat ole-ole itu dengan pisau. Maka konsekuensi dari perbuatan itu, adalah hubungan antara ibu dengan anak-anak dan juga hubungan antara suami dan isterinya yang berasal dari negeri kayangan itu berakhir sampai di saat itu saja. Dan isi dari ole-ole terakhir yang dikirim oleh ibunda mereka adalah seperangkat alat tukang kayu dan tukang batu yang lengkap untuk membangun rumah mereka.
Mulai dari saat itu, mereka (adalah kedua anak-anak laki itu yang bermarga Soumokil) bersama dengan ayah mereka mulai memakai perkakas-perkakas tukang itu untuk membangun rumah mereka, dan tentunya dengan sepenuh hati mereka memakai perkakas itu sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan mereka, sebab kecintaan terhadap perkakas-perkakas tukang itu dalam fungsinya, mereka memaknainya sebagai bagian hidup yang tidak bisa dilepas pisahkan dari besar rasa cinta dan rindu mereka kepada ibunda tercinta yang memberikan segala hal bagi mereka.
Begitulah awal mula cerita kepiawaian orang Booi dalam kapasitasnya sebagai tukang-tukang bangunan yangg terkenal; sebenarnya berawal dari cerita ini dan terus dalam berjalannya waktu, ilmu tukang dan pengenalan perkakas tukang yang di peroleh dari salah satu marga yaitu marga/fam Soumokil kemudian di transfer kepada seluruh orang Booi lainnya dalam proses regenerasi hingga kini. Dan hal ini yang memungkinkan mereka (orang Booi) mendalami kerja Tukang sebagai suatu proses alami, yang sudah terjadi dalam setting sejarah mereka hingga kini dengan pola regenerasi kerja Tukang secara otodidak, sebagai sebuah keunikan dan juga kehebatan mereka.
Sebagai catatan: di Negeri Booi hingga kini ada suatu tempat yang di sebut AIR TUKANG, dalam kaitannya dengan cerita ini tempat tersebut tidak terlalu terkenal oleh banyak orang. Tetapi tempat itu memiliki dasar filosofis yang kuat dengan karakter sebagaian besar orang Booi yang memiliki keunggulan dalam profesi mereka sebagai tukang yang berkualitas.
Data ini saya peroleh dari Almarhum Paulus Pattiasina (77 tahun, meninggal dunia di tahun 2005), dan dinarasikan oleh saya dalam gaya bahasa yang dapat dimengerti oleh anda sekalian. [SA.9.5] J. Pattiasina
» Read More...