Tradisi Minta Api adalah tradisi unik dari kehidupan sosial masyarakat Maluku secara umum, dan tradisi ini hampir punah di berbagai negeri-negeri di Maluku (desa-desa). Meskipun demikian sampai sekarang, tradisi ini teramati masih berlangsung di negeri-negeri di pulau Saparua.
Dengan perkembangan zaman modern atas kelengkapan alat memasak yang lebih modern. Banyak orang telah memakai konvor dengan bahan bakar minyak, atau gas, namun untuk sebagian masyarakat di negeri-negeri Saparua, masih memakai “Tungku” (tempat perapian sederhana untuk tempat memasak keluarga dengan memakai 3 buah batu yang di tempatkan dalam bentuk segitiga sama sisi, atau buah besi beton/sejenisnya, dalam ukuran tertentu panjangnya, yang terbentang diatas 2 buah batu sebelah kiri dan kanan masing-masing secara sejajar, dan disesuaikan dengan ukuran alat-alat masak seperti “Pancis (Panci)” atau “Tacu (Wajan)” agar bisa ditempatkan diatas tungku tersebut) atau “Anglo” (tempat perapian yang terbuat dari tanah liat, dalam bentuk lingkaran yang kecil atau besar dengan lubang udara kecil-kecil di dindingnya) sebagai tempat perapian sekunder untuk memasak makanan, dengan bahan bakar kayu.
Tradisi minta api, sering berlangsung di pagi hari atau di sore hari ketika keluarga-keluarga mulai memasak kebutuhan makan keluarga, seperti masak makanan dan masak air. Biasanya ketika tidak ada alat pencetus api seperti korek api kayu atau gas, atau malas untuk membuat perapian dari awal di atas tungku mereka, para ibu cenderung menyuruh anak mereka, atau mereka sendiri pergi mengambil atau meminta pontong atau puntung api di tetangganya dengan memakai tempurung kelapa atau serabut kelapa sebagai wadah menempatkan pontong api tersebut. Demikianlah gambaran singkat dari salah satu tradisi yang pernah dan sampai sekarang masih berlangsung di beberapa negeri-negeri di Maluku.
Jika dianalisa tradisi minta pontong api mendapat tempatnya hingga kini di dalam setting kehidupan masyarakat Maluku, adalah merupakan bagian dari suatu tradisi yang kuat secara turun temurun terus dipertahankan karena terkandung di dalamnya nilai luhur, sebagai alasan utama kenapa tradisi ini harus dipertahankan secara sadar dikemudian hari. Meskipun demikian nilai luhur dari asal mula tradisi ini tercipta, menjadi kabur atau bahkan tidak diketahui lagi disaat ini.
Diakomodirnya tradisi ambil/minta api dalam posting ini, sebagai wujud keprihatinan saya terhadap nilai-nilai budaya dan tradisi dari masyarakat tradisional di Maluku yang mampu menembusi batas ruang dan waktu. Dari tradisi-tradisi semacam inilah atau budaya-budaya pinggiran yang sering dipandang sebelah mata, dan luput dari pengamatan banyak pihak, yang cenderung melihat dan ingin meneliti budaya-budaya formal yang telah terkenal di dalam kehidupan masyarakat, terkadang menyimpan banyak kekhasan nilai-nilai dasar yang pro hidup secara universal. Untuk itu saya mencoba untuk menggambarkan sisi-sisi yang patut ditampilkan dari tradisi ini.
Awal mula tradisi ini tercipta, dimulai dari zaman tradisional dengan pola kehidupan masyarakat pada saat itu masih sangat tradisional dan mereka hidup berkelompok, dimana membuat perapian untuk memasak makanan “Mataruma atau Rumatau atau Lumatau” (kutipan dari: PUSAT STUDI SEJARAH DAN BUDAYA MALUKU. Adalah kesatuan kelompok geneologis yang lebih besar sesudah keluarga, adalah rumatau atau lumatau) mereka dibutuhkan proses yang agak panjang. Biasanya orang Maluku tradisional membuat perapian secara tradisional, dengan saling menggosokan belahan bambu kering dengan daun kering (yang mudah terbakar), hingga munculnya api; atau memakai teknik mengetok batu dengan batu untuk menciptakan percikan api, kedua proses ini memakan waktu yang relative lama.
Dari tingkat kesulitan membuat perapian, hasil perapian sebelumnya tentunya akan dibagikan puntung-puntung api dari perapian utama ke perapian keluarga-keluarga yang ada didalam mataruma tersebut. Dengan begitu mereka dapat memasak makanan secara bersama-sama dalam waktu yang bersamaan pula untuk kepenuhan matarumah mereka juga, yaitu yang terdiri dari beberapa keluarga di dalamnya. Perlu dipertegaskan, mulai dari nilai luhur budaya tradisional inilah, kemudian menjadikan tradisi minta puntung api dapat bertahan diatas nilai-nilai tersebut hingga kini.
Yaitu yang pertama, berdasar pada nilai solidaritas dan kekeluargaan yang kuat; kedua, menghargai nilai dari “api” yang dihasilkan adalah suatu proses memperjuangan untuk menciptakan sesuatu dalam mempertahankan hidup bersama, dan berlangsung dalam suatu kerelahan antar ”orang basudara untuk saling melengkapi”. Disamping itu kualitas dari ‘api’ adalah sesuatu yang begitu urgen bagi kehidupan di zaman tradisional.
Dengan begitu, saya mencoba meyakinkan pembaca terhadap kualitas nilai-nilai dasar dari tradisi ini, bahwa tradisi minta api, ternyata berkembang dalam dasar-dasar filosofi yang jelas. Sehingga di masa kini, salah satu nilai dasar dari tradisi minta api dengan positifnya ditransformasi untuk meningkatkan kualitas hidup basudara antar tentangga (yang bukan geneologis di masa kini, seperti gambaran pola hidup tradisional yang identik dengan satu mataruma). Inilah dasar pikir yang sederhana saya temukan dalam mencermati, bentuk-bentuk perilaku manusia di masa kini, akan selalu berkaitan dengan dasar atau akarnya di masa lalu. Semoga bermanfaat untuk meningkatkan referensi kita tentang bentuk-bentuk budaya dan tradisi-tradisi di Maluku. [SA.95] J.Pattiasina
» Read More...