oleh : Jimmy Pattiasina
Setiap negeri adat di Maluku yang tersebar di seribu pulaunya memiliki keberagaman dan karakater yang khas tentang tradisi dan budaya masing-masing negeri adat yang dipimpin oleh seorang Raja atau Orang Kaya.
Demikian halnya dengan orang Booi (negeri Booi), yang berada di
wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, yaitu di Pulau Saparua; yaitu sebagai
salah satu pulau yang bersejarah dalam konteks perjuangan pra
kemerdekaan Indonesia melawan Penjajah. Yaitu Kapitan Pattimura dengan para
Kapitan lainnya di Lease, yang bersekutu untuk menumbangkan keperkasaan benteng
Duurstede pada tahun 1817.
Negeri Booi dan masyarakatnya sejak kemenjadian mereka dari jaman pra sejarah
hingga kini di tahun 2016, telah menyimpan banyak sekali keunikan dari dasar-dasar tradisi
dan kebudayaan mereka sendiri. Sehingga produk-produk budaya sebagai wujud nyata warisan leluhur kepada generasi penerusnya di masa kini, masih
tersimpan, dan juga sejumlah bukti warisan budaya leluhur negeri Booi, hingga sekarang masih terlestari. Meskipun begitu dengan perkembangan jaman, sejumlah warisan budaya leluhur orang Booi, mulai berangsur-angsur sengaja dirubah oleh sebagian kelompok masyarakat yang berada di negeri Booi di hari ini.
Ada sedikit pengecualian bagi setiap orang yang belum pernah mengetahui tentang negeri Booi sebelumnya, setidaknya anda diharapkan untuk mengerti tentang kerangka
dasar dari satu konsep keilmuan yang disebut Planologi jika ingin melihat Booi dalam sudut pandang yang ilmiah. Barulah anda dapat dengan leluasa mengamati semua aspek kehidupan orang Booi, dan seterusnya dapat menuju pada suatu kajian lanjutan, dalam rangka memahami orang Booi dengan segala hal ihwalnya
sebagai sekelompok masyarakat yang punya kekhasan/keunikan di pulau Saparua; dimana orang Booi disebut oleh masyarakat lainnya di pulau Saparua, dengan sebutan NEGERI PAGAR BATU atau NEGERI BA’TRAP-TRAP (Berundak-undak) atau NEGERI BA'GUNUNG (Negeri Bergunung; yang dalam bahasa tanah setempat disebut "AmanLatu Tanital" yang
berarti "negeri raja bergunung",
hal ini terbukti dari temuan PANJI NEGERI ADAT "Samahu Amalatu/Teung
Negeri Booi" dengan pengertiannya yaitu "TANITAL eto NUHUI" yang
berarti Gunung Itu Tinggi).
Kembali lagi pada Tradisi Paruru, dimana pada kesempatan ini saya ingin membagikan suatu hasil pengamatan dan kajian yang
sangat sederhana sekali, demi mewujudkan tanggung jawab moral saya sebagai salah satu pemerhati budaya lokal sejak Blog Tradisi Maluku ini dibangun 6 tahun yang lalu (Meskipun dibalik kesibukan terbaru saya, sebagai seorang perancang motif Maluku dan perancang busana etnik Maluku; tetapi wajib juga hukumnya bagi saya untuk terus mengawal idealisme saya yang sejak awal menaruh perhatian kepada tradisi-tradisi mini di Maluku) dan lewat tulisan tradisi Paruru edisi 1 September 2016 ini, saya akan membahas secara khusus dengan gaya bahasa saya, tentang keunikan orang Booi yang juga telah terkenal sebagai "negeri tukang" di kepulauan Lease.
Tradisi Paruru buah Pala di Negeri Booi adalah suatu
tradisi yang bertumbuh dan masih terus hidup di negeri Booi hingga kini, yang
mengajarkan tentang suatu gaya hidup masyarakat setempat dari jaman ke jaman (lintas generasi),
agar pada saat memanen hasil tanaman umur panjang mereka, dalam hal ini
dikhususkan pada buah Pala, wajib untuk di pilih (disortir satu per satu
buahnya), agar tidak dengan jumawa menghabiskan semua buah pala pada saat
memanen hasil seluruh pohon Pala, yang sengaja dijadikan sebagai komoditi perkebunan utama di petuanan dusun negeri orang Booi.
Sebab pada dasarnya pohon Pala di negeri Booi dalam 1 tahun rata-rata dipanen dalam 3 kali panen. Untuk itu tradisi Paruru sengaja dilestarikan dengan sadar oleh semua orang Booi, sebagai suatu model orang Booi menjaga keberlangsungan hidup mereka selama satu tahun. Untuk itu, saya mencoba untuk menjelaskannya dalam beberapa
pendekatan sudut pandang; agar memperkaya tulisan ini, yang pada gilirannya akan menempatkan Tradisi Paruru Pala di negeri Booi, sebagai Entry
Poin bagi para peneliti muda lainnya agar dapat melanjutkan proses
penelitian mereka. Jika saja ada yang tertarik mengkaji Tradisi Paruru di negeri Booi pada
jenjang selanjutnya, dengan hal ihwal yang berkaitan erat dengan Tradisi Paruru dalam konteks negeri Booi sebagai satu negeri adat di pulau Saparua, bagi saya akan sangat menarik sekali ketika kajian lanjutan tersebut kemudian menjadi semacam Skripsi, Tesis, dan bahkan sebuah Disertasi yang mengupas tuntas dan atau dari kajian mereka yang kemudian bertalian langsung dengan Tradisi Paruru ini.
a. ASPEK HISTORIS
Untuk menjelaskan sejak kapan pertama kali Tradisi Paruru ini
mulai hidup dan bertumbuh di negeri Booi, dan siapa yang mempeloporinya, agak
sulit bagi saya untuk menetapkannya. Tetapi paling tidak, kita cukup terbantu
dengan beberapa data dalam upaya mengidentifikasikan Tradisi Paruru buah Pala di Negeri Booi kira-kira kapan mulai
dikenal.
-
Pala adalah Tanaman Endemik Pulau Banda
Sejarah dunia mencatat, bahwa tumbuhan Pala adalah tanaman
endemik dari kepulauan Banda. Fakta sejarah itu yang kemudian mendorong bangsa
Eropa berjibaku untuk merebut kepulauan Banda, di abad 17 & 18; hingga
akhirnya Belanda pada tahun 1603 masuk ke kepulauan Banda dan menguasai Perkebunan Pala mereka. Dan dengan model monopoli dagang Pala, Belanda lewat perusahaan negaranya yaitu VOC kemudian membawa bibit-bibit pala
untuk di tanam di sejumlah kepuluan Maluku yang lainya, yaitu di pulau Ambon, Uliaser, dan
pulau Seram; disamping juga di beberapa daerah lainnya di nusantara ini.
-
Sejarah Kekristenan di Pulau Saparua
Sejarah lokal masyarakat pulau Saparua mencatat, bahwa
pertama kalinya VOC Belanda menginjakan kaki mereka di Pulau Saparua, tepatnya
di negeri Ullath, yaitu pada tahun 1630-an. Dan kemudian di negeri Booi, dimana hal
ini terbukti dalam catatan sejarah gerejawi ber-GPM (gereja protestan maluku) di pulau Saparua, dimana negeri Ullath adalah
penganut agama Kristen Protestan pertama di pulau Saparua, dan kemudian tak berselang waktu yang lama, negeri Booi menyusul di Kristenkan oleh VOC
Belanda.
Artinya bahwa, dengan gambaran data diatas, bisa membantu kita untuk mengidentifikasikan, kalau TRADISI PARURU Pala di negeri Booi itu sangat mungkin pertama kali hidup di abad 17 & Abad 18.
Artinya bahwa, dengan gambaran data diatas, bisa membantu kita untuk mengidentifikasikan, kalau TRADISI PARURU Pala di negeri Booi itu sangat mungkin pertama kali hidup di abad 17 & Abad 18.
b. ASPEK BUDAYA
Bahasa adalah salah satu produk budaya yang paling tua,
selain makanan dan pakaian. Untuk itu dari kata "PARURU" sesungguhnya terdiri dari 2 kata yaitu: "Paru dan Uru": Paru itu dasar katanya "PAR"
adalah sebuah kata serapan dari akulturasi budaya orang Saparua yang berarti "Untuk" “Kepada” dan atau "Menuju"; sedangkan "URU" adalah "Kepala".
Artinya secara harafiah Paruru berarti "menuju kepala", atau juga dapat diartikan sebagai "dari bawa (naik) menuju
ke atas (ke puncak/kepala)".
Perlu dijelaskan pada bagian ini tentang bagaimana Tradisi Paruru buah Pala itu dilakukan? bahwa Paruru Pala itu telah dilakukan sejak dahulu
sampai dengan hari ini yang melintasi banyak sekali generasi, dan tradisi peruru itu masih dilakukan dengan cara-cara yang sangat sederhana
sekali; yaitu memakai alat "Gaigai"
(tongkat pengait) atau "Popar"
(semacam tongkat yang sederhana dan terbuat dari bamboo berukuran sedang, dan
kemudian popar difungsikan sebagai pengait tetapi juga berfungsi sebagai
keranjang penampung), dimana sang pemanen akan memanjat pohon Pala, dan tentunya pemanen buah Pala sudah mampu bisa membedakan atau bisa memilih-milih buah pala yang sudah ranum atau yang masih muda. Sebab yang dipanen adalah buah Pala yang sudah ranum, dan yang dibiarkan tinggal dipohon yaitu buah Pala yang masih muda atau nyaris matang. Dimana bagi orang Booi, mereka kemudian mengklasifikasikan buah Pala yang dipanen itu, dengan sebutan "NOMOR SATU" (yaitu buah pala yang sudah ranum, dan wajib dipanen), dan juga ada yang "NOMOR DUA" (yaitu buah pala yang masih setengah jadi, tetapi belum ranum) dan buah Pala jenis ini wajib ditinggalkan dengan buah Pala yang masih muda.
Berikut ini adalah penjelasan teknis dari Tradisi Paruru Pala itu adalah sebagai berikut : Pada saat pemanen buah Pala berhasil memanjat pohon Pala, maka proses panen itu dimulai dari dahan pohon Pala yang pertama (dibagian bawah), dan dilanjutkan pada dahan yang kedua, hingga proses panen dilakukan ke puncak pohon Pala. Kemudian sebagai tahapan finishing dari proses Paruru ini, yaitu dilakukan lagi proses pengecekan ulang dari dahan ke dahan yang paling puncak menuju ke dahan yang paling bawah; dimana tahapan finishing ini dilakukan agar memastikan ulang jangan sampai ada buah Pala Nomor Satu yang terlewati, dan belum di ambil.
Maksdunya begini, proses PARURU itu sudah menjadi pengetahuan dasar semua orang Booi di pulau Saparua, yaitu saat memanen buah pala, tidak semua buah Pala akan diambil. Pasti ada yang belum cukup ranum (buah pala nomor 2) untuk di panen; sebab jika buah Pala Nomor 2 dipanen, maka tentunya berpengaruh pada kualitas produk, dan harga tentunya. Sehingga saat memanen buah Pala, harus dengan teliti untuk melihat satu persatu buah Pala; untuk itu bagi seorang pemanen Pala diwajibkan untuk bisa membedakan warna buah Pala sesuai dengan tingkatan kualitasnya (yaitu nomor satu dan nomor dua tadi), karena setiap pohon Pala punya karakter yang berbeda-beda, sehingga warna buah Pala yang nomor satu dan nomor 2 agak sulit dibedakan juga.
Berikut ini adalah penjelasan teknis dari Tradisi Paruru Pala itu adalah sebagai berikut : Pada saat pemanen buah Pala berhasil memanjat pohon Pala, maka proses panen itu dimulai dari dahan pohon Pala yang pertama (dibagian bawah), dan dilanjutkan pada dahan yang kedua, hingga proses panen dilakukan ke puncak pohon Pala. Kemudian sebagai tahapan finishing dari proses Paruru ini, yaitu dilakukan lagi proses pengecekan ulang dari dahan ke dahan yang paling puncak menuju ke dahan yang paling bawah; dimana tahapan finishing ini dilakukan agar memastikan ulang jangan sampai ada buah Pala Nomor Satu yang terlewati, dan belum di ambil.
Maksdunya begini, proses PARURU itu sudah menjadi pengetahuan dasar semua orang Booi di pulau Saparua, yaitu saat memanen buah pala, tidak semua buah Pala akan diambil. Pasti ada yang belum cukup ranum (buah pala nomor 2) untuk di panen; sebab jika buah Pala Nomor 2 dipanen, maka tentunya berpengaruh pada kualitas produk, dan harga tentunya. Sehingga saat memanen buah Pala, harus dengan teliti untuk melihat satu persatu buah Pala; untuk itu bagi seorang pemanen Pala diwajibkan untuk bisa membedakan warna buah Pala sesuai dengan tingkatan kualitasnya (yaitu nomor satu dan nomor dua tadi), karena setiap pohon Pala punya karakter yang berbeda-beda, sehingga warna buah Pala yang nomor satu dan nomor 2 agak sulit dibedakan juga.
Dengan demikian, kebiasaan dalam memanen buah Pala yang
mewajibkana adanya ketelitian, maka proses teknis dari Paruru ini, harus dimulai dari dahan pertama (yang paling bawah), kemudian menuju hingga ke
puncak pohon pala; dan sebagai tahapan finishing, diwajibkan melakukan proses
panen yang sama dari dahan yang paling atas hingga akhirnya kembali ke dahan
yang paling bawah. Agar supaya proses panen buah Pala benar-benar efektif dalam
mencapai hasil secara kuantitatif, tetapi juga memaksimalkan hasil secara
kualitatis dari produk Pala yang dihasilkan dari hasil perkebunan orang Booi
itu sendiri.
Karena apabila proses Paruru itu dilakukan pada pohon pala yang menghasilkan ribuan buah, maka sangat mungkin ada kecendrungan "sikat habis" karena kehilangan konsentrasi, dan capek secara psikologis yang mendorong seorang pemanen pemula itu, bisa saja main "sikat habis" atau dalam bahasa lokal orang Booi, disebut : "PATILAWARU". Untuk itu disinilah pentingnya Tradisi Paruru Pala itu, karena akan memaksimalkan proses panen. Dimana buah Pala nomor dua, lewat konsep Paruru tidak akan diambil, karna kalaupun diambil akan berdampak pada kerugian ekonomi, baik secara kuantitas maupun kerugian pada kualitas produk buah Pala dari negeri Booi.
Karena apabila proses Paruru itu dilakukan pada pohon pala yang menghasilkan ribuan buah, maka sangat mungkin ada kecendrungan "sikat habis" karena kehilangan konsentrasi, dan capek secara psikologis yang mendorong seorang pemanen pemula itu, bisa saja main "sikat habis" atau dalam bahasa lokal orang Booi, disebut : "PATILAWARU". Untuk itu disinilah pentingnya Tradisi Paruru Pala itu, karena akan memaksimalkan proses panen. Dimana buah Pala nomor dua, lewat konsep Paruru tidak akan diambil, karna kalaupun diambil akan berdampak pada kerugian ekonomi, baik secara kuantitas maupun kerugian pada kualitas produk buah Pala dari negeri Booi.
c. ASPEK EKONOMI
Tradisi Paruru menurut saya, adalah suatu kearifan budaya
lokal hidup orang Booi yang dengan sadar telah melembagakan suatu konsep pembelajaran
untuk hidup hemat dan pola berinvestasi yang sangat sederhana (dan realitas ini
telah menjadi suatu tradisi yang berusia ratusan tahun lamanya), yaitu dari
keutuhan tradisi Paruru itu sendiri. Karena buah Pala itu dari jaman ke jaman
memiliki nilai Ekonomi yang lumayan tinggi, dan sudah cukup untuk menjamin
keberlanjutan hidup masyarakat negeri Booi dalam satu tahun. Sehingga dari
Aspek Ekonomi inilah, Tradisi Paruru juga turut punya sumbangsi untuk menjaga
keberlanjutan ketahanan ekonomi dari masyarakat lokal ditingkat negeri (desa);
dan kenyataan dari Tradisi Paruru Pala di negeri Booi, sudah menjadi kolektif
berpikir bersama dari seluruh masyarakat negeri Booi hingga kini bahwa cara
memanen dengan cara Paruru adalah wajib hukumnya.
Bahkan ada satu aspek social-ekonomi, yang sangat unik jika
saya mengamati dari Tradisi Paruru Pala di Negeri Booi dimana dampak
langsungnya dapat menggaransikan suatu keberlanjutan hidup lainnya bagi
kelompok ekonomi lemah. Bahwa cukup besar sampai dengan hari ini, bisa menjadi 25%
- 30% masyarakat Booi, yang memiliki profesi dan menggantung hidup sebagai
seorang "pencari dan pemungut hasil tanaman umur panjang; khususnya buah
Kenari & Buah Pala" di seluruh petuanan dusun negeri Booi yang
dominan ditumbuhi pohon Cengke, Pala, dan Pohon Kenari.
Justru dengan adanya Tradisi Paruru, akan sangat membantu masyarakat dengan ekonomi lemah yang memilih profesi di atas, dimana mereka selalu bisa mendapatkan rejeki disetiap hari, karena ada saja buah pala yang masih tersisa di pohon pala, setelah panen oleh pemilik pohon Pala dengan cara Paruru; karena semua pemilik pohon pala di dusun masing-masing akan memakai pola Panen Paruru. Inilah satu konsep hidup berbagi ala orang Booi lewat tradisi Paruru atau panen Pala dengan model Paruru.
Justru dengan adanya Tradisi Paruru, akan sangat membantu masyarakat dengan ekonomi lemah yang memilih profesi di atas, dimana mereka selalu bisa mendapatkan rejeki disetiap hari, karena ada saja buah pala yang masih tersisa di pohon pala, setelah panen oleh pemilik pohon Pala dengan cara Paruru; karena semua pemilik pohon pala di dusun masing-masing akan memakai pola Panen Paruru. Inilah satu konsep hidup berbagi ala orang Booi lewat tradisi Paruru atau panen Pala dengan model Paruru.
d. ASPEK RELIGIUS
Mayoritas orang Booi beragama Kristen Protestan (GPM) sejak
mereka dikristenkan oleh VOC Belanda hingga kini, mereka masih homogen dalam
aspek beragama, hingga kini. Dan dalam pengamatan saya juga, aspek religi
sangat berpengaruh terhadap ide munculnya TRADISI PARURU di Booi; dimana lewat
teknis Tradisi Paruru telah secara langsung menekankan HUKUM KASIH sebagai
hukum yang pertama dan terutama (sebagai iman seorang Kristiani). Justru bagi
leluhur negeri Booi, dalam membangun iman sebagai orang Kristen sejati, mereka
justru telah menitipkan satu tradisi yang bernilai Kristen (yaitu nilai-nilai
Kasih) yang benar-benar terlestari hingga kini.
--------------------------------------------------------------------
Demikianlah satu
tulisan sederhana yang bisa saya buat untuk menjadi referensi bagi setiap orang
yang membutuhkannya kelak; dimana dari
hasil pengamatan saya ini, dengan sengaja terus berupaya untuk mengidentifikasikan pribadi saya sebagai salah
satu generasi bangsa Maluku yang sedapat mungkin mampu melakukan “transfer
pengetahuan” tentang passion dan rasa cinta pada Tradisi dan Budaya Maluku.
Dengan mengidealkan di hari hari ini, dan juga di masa yang akan datang, ada banyak generasi muda Maluku lainnya, yang dapat melakukan hal yang sama dengan terus berlatih untuk membuat suatu amatan dan kajian yang sangat sederhana, lalu belajar untuk menuangnya dalam sebuah tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan; meskipun semua yang saya lakukan hari inipun atau anda sekalian yang ingin melakukannya juga, pasti ada sisi lemahnya, sehingga tulisan ini dapat dikomentari bahkan kritisi.
Dengan mengidealkan di hari hari ini, dan juga di masa yang akan datang, ada banyak generasi muda Maluku lainnya, yang dapat melakukan hal yang sama dengan terus berlatih untuk membuat suatu amatan dan kajian yang sangat sederhana, lalu belajar untuk menuangnya dalam sebuah tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan; meskipun semua yang saya lakukan hari inipun atau anda sekalian yang ingin melakukannya juga, pasti ada sisi lemahnya, sehingga tulisan ini dapat dikomentari bahkan kritisi.
Semoga Bermanfaat
Rumah Kopi Ilela, 1 September 2016
Rumah Kopi Ilela, 1 September 2016
0 comments :
Post a Comment
Dengan Senang Hati Beta Menanti Basuara Sudara-Sudara.