17.7.10
NEGERI BOOI; TRADISI HOHATE IKAN PAPUA
Hohate adalah alat menangkap ikan tradisional, yang biasanya memakai bambu ukuran kecil, yang panjang bambo untuk satu buah Hohate yang baik adalah 5 m, 7 m, 9 m. Dan pada bambu tersebut dipasangkan tali senar plastik (tasi, mika) yang telah dipasangkan mata kailnya (Kail). Menurut orang Booi (salah satu negeri di pulau Saparua), panjang hohate yang sangat baik mesti berukuran ganjil panjangnya, dan tidak boleh genap.
Biasanya pada saat memotong bambu untuk dijadikan hohate dihitung berdasarkan ruas bambunya saja, Seperti 5 ruas, 7 ruas, 9 ruas, tergantung keinginan pemilik Hohate.
Sebab jika Hohate yang berukuran genap, maka sangat mungkin tidak mendapatkan tangkapan ikan yang cukup memuaskan. Hal ini sudah terbukti ketika ada yang mencobanya, dan ternyata tidak memuaskan sesuai dengan tradisi yang telah diakui oleh masyarakat negeri Booi.
Ikan Papua biasanya di negeri-negeri di Saparua menyebutnya, ikan Tatu Hitam (sebab ada sebangsanya yang berwarna merah juga, tetapi kulit dari jenis yang berwarna merah ini lebih keras dari pada yang berwarna hitam kebiruan) atau Ikan Ayam, sebab dagingnya kenyal seperti ayam. Ikan papua dewasa besar badannya, panjang dan lebar telapak tengan orang dewasa, bahkan ada pula yang panjangnya 17-18 cm. Kulitnya berwarna agak hitam kebiruan, dan kulitnya seperti selaput keras, dan memiliki tanduk di kepalanya. Ikan papua pola hidupnya berkelompok, dalam jumah besar.
Ikan Papua; nama “Papua” memiliki artian filosofis dari masyarakat setempat, yakni berasal dari sebutan mereka pada buah cengkih yang sudah ranum, biasanya ada selaput yang menudungi rambut buah cengkih tersebut, dan pada waktunya akan juga lepas dengan sendirinya. Dan orang Booi, menamakan buah cengkih yang sudah berambut dengan sebutan “cengke papua”. Dalam hubungan dengan ikan papua, entah kenapa ikan-ikan papua ini biasanya keluar mencari makan dalam kelompok-kelompok yang berukuran besar, dan terkesan begitu rakus sekali berebutan umpan “kumang” (keong darat atau laut) pada saat buah cengkih di pohon-pohon milik masyarakat Booi mulai ranum atau papua dan klimaksnya musim ikan papua ketika buah cengkih polong (Polong; adalah sebutuan terhadap buah cengkih yang sudah terlalu ranum dan sudah mendekati masa untuk gugur sendiri).
Maka di sana akan terlihat begitu ramai sekali bapak-bapak, pemuda dan remaja-remaja Hohate ikan papua atau juga yang mengail dengan memakai perahu atau “kole-kole” (sebutan untuk jenis perahu yang berukuran kecil dan ramping). Yang memakai Hohate akan mencari “Saaru” (tepi tubir tempat antara yang dangkal dan tempat yang dalam, dan saaru kedalaman airnya setinggi dada orang dewasa), dan yang mengail biasanya memakai kole-kole dengan leluasa bisa mencari tempat sesuai keinginan. Karena ikan papua tempat bermainnya pada saat air metti (air surut), biasanya di mulai dari saaru.
Fenomena ini bersifat musiman, 1 kali dalam setahun saja ikan ini ramai ditangkap. Yaitu di nanaku atau diperhatikan oleh masyarakat setempat, yaitu dimulai dari musim cengkih di panen (khususnya buah cengkih mulai papua) dan selesainya musim ikan papua yaitu ketika buah cengkih sudah tidak lagi ada di pohon. Dan hal ini telah terbukti dari hasil nanaku masyarakat setempat, meskipun jika ada yang hohate diluar musim panen cengkih, ikan papua yang kebetulan tertangkap mungkin 1-2 ekor. Beda halnya pada saat musim panen cengkih, rata-rata setiap orang yang melakukan kegiatan Hohate atau mengail ikan papua, akan pulang membawa 95-98 % jenis ikan papua dan sisanya untuk jenis lainnya.
Dari fakta ini, saya tertarik memuatnya dalam postingan kali ini, kerena ada suatu keterhubungan ekosistem dalam mata rantai ekologi, yang belum terjamah dalam penelitian saintis. Dan harapan saya bagi browser yang berminat dapat menjadikan informasi ini sebagai acuan dasar untuk bertolak ke jenjang berikutnya. [SA.95] J.Pattiasina
Menarik sudara eee .. cuma sakarang orang mau hohate talalu lama .. dong sudah pake racong ikan, campor di umpan, lalu tinggal angka ikan papua saja ... instan dan tidak lagi berseni ...
ReplyDelete"Dangke su singga kasih suara"..
ReplyDeleteSalah satu bentuk sudut pandang yang menampakkan keterhubungan manusia dengan alam yang terdapat dalam tradisi ini, telah menggelisahkan anda dan saya membangun pola pikir yang utuh untuk merefleksikannya kembali.
Namun sayangnya kita tidak bisa memutar waktu kembali; yang hanya dapat dilakukan oleh manusia sekarang menyadari diri atas ketamakannya, sebab kerusakan alam tidak bisa tergantikan 1-5 tahun kedepan.!
selamat siang Pak Jimmy, beta sangat tertarik dengan tulisan ini..
ReplyDeleteapakah tradisi ini masih terus dilestarikan sampai saat ini?? ternyata banyak sekali tradisi masyarakat Maluku yang masih harus digali dan diangkat ke permukaan untuk diketahui oleh banyak orang...
salam kenal dan salam sukses untuk pak Jummy (Emi Kastanya)
Pak Emi salam hormat sudah berkenan mampir di Blog ini;
ReplyDeleteBeta minta maaf kio, barusan membalas komentar bapak. Iya benar pak, tradisi ini masih terus dilakukan dalam kehidupan orang Booi, karena faktanya ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun, sehingga sampai dengan generasi di bawa kami, tradisi bertutur tentang bagaimana "hohate ikan papua" yang baik itu harusnya pada waktu kapan, dan cara-cara menangkapnya secara tradisional itu masih berlangsung disana..
Memang kalau kita melihat segala sesuatu di Maluku secara kasat mata memang mungkin saja ada banyak nilai yang terlewati, tetapi jika kita mengamati dengan saksama, maka kita akan menemukan sejumlah nilai-nilai baru dari tabiat, tradisi, dan budaya orang Maluku.
Dan memang beta lewat Blog ini, ingin mempresentasikan sesuatu yang menurut beta, hal-hal kecil, tetapi beta melihatnya dari perspektif yang agak lain dari penulisa blog Maluku lainnya. Semoga saja tulisan-tulisan beta menarik untuk di baca, dan tentunya diterima sebagai referensi pembanding lainnya.
Dangke Banya..
Horormatee