"Cili kata Halia, sama-sama panas"

Mendengarkan cerita "orang tatua" (dalam bahasa Ambon hari-hari, dapat berarti pertama; orang yang lebih tua dari kita. dan arti orang tatua yang kedua; adalah mengarah pada nenek moyang dahulu) ternyata ada yang unik dari orang Maluku Tengah.

Keunikan yang beta maksudkan kali ini, ingin dijadikan sebuah posting yang tidak kala pentingnya untuk dibagikan bagi pembaca setia blog TRADISI MALUKU  (ya.. berhubung sudah beberapa bulan terakhir ini beta sudah jarang menulis). Masih terkait dengan Tradisi Maluku, yaitu sebuah kekhasan dari tradisi lisan orang Maluku Tengah, yang melestarikan tradisi lisan dari generasi terdahulu (orang tatua) dan meneruskan hingga kini dengan cara-cara yang khas pula.

Jiika suatu ketika,  ada beberapa orang melihat sebuah fakta di masa kini (sebagai contoh) dan seseorang diantara mereka secara spontan mengatakan sebuah kalimat yang sebenarnya memiliki makna konotasi dari apa yang mereka lihat atau saksikan, hal inilah yang saya maksudkan sebagai inti dari posting kali ini.

Salah satu kalimat orang tatua yang sering didengar di dalam penggunaan bahasa Ambon hari-hari adalah, "Cili Kata Halia, sama-sama Padis/Panas" (Cabe sama halnya Jahe, sama-sama panas); kalimat semacam ini akan spontan dikatakan oleh seseorang dalam makna konotasinya, misalkan ia melihat ada dua orang yang melakukan sebuah perbuatan, atau aksi yang mempunyai kemiripan. Entah itu kemiripan secara positif, ataupun negatif. Sebagaimana efek dari cabe ketika di makan akan pedis dimulut dan menghasilkan rasa panas, demikian halnya dengan jahe yang akan menghasilkan efek yang panas/hangat juga di dalam tubuh ketika di konsumsi.  

Atau "Pake Sandal Lupa Tarupa" (Memakai Sendal, melupakan "TARUPA"; sendal tradisional, atau bisa disebut sebagai generasi pertama dari sandal jepit yang terbuat dari bekas Ban Mobil). Kalimat ini memiliki makna konotasi untuk mengkritisi atau menjelaskan sebuah pengalaman yang mungkin saja terjadi dimasa kini, seperti yang pernah saya jelaskan pada posting "Dapa Pirin Lupa Taloi".

Dari gambaran pengalaman yang sering beta temukan dalam setting kehidupan sehari-hari, beta menarik sebuah nilai positif dari fakta-fakta seperti ini, kenapa??

1.     Penghargaan akan peran dan eksistensi Leluhur atau Nenek Moyang (generasi terdahulu) masih terwakili dengan tradisi lisan tersebut yang masih dipakai hingga kini.

2.     Sekalipun seringkali kalimat-kalimat ini dipakai dalam situasi yang terkesan bercanda ria (Bahasa Ambon Hari-hari; "basangaja") akan tetapi peran publik dalam mengontrol beragam masalah sosial yang terjadi didalam masarakat, dapat memakai media tradisi lisan ini untuk menegur, mengkritisi, ataupun memperjelas fakta yang sementara dilihat ataupun di saksikan, agar menjadi bahan koreksi bersama.

3.    Kekhasan hidup orang Maluku yang begitu familiar dalam konteks hidup orang Basudara, sehingga cara mengkritisi sebuah kesalahan atau perbuatan negatif dari basudaranya yang lain, harus memakai kalimat-kalimat yang santun. Adapun pilihan pada pengunaan kata-kata orang tatua ini, seringkali menjadi pilihan masyarakat setempat, sekalipun bermakna konotasi dan mengandung tendensi kritikan yang pedas, atau tajam, tetapi hal ini dianggap sebagai sebuah pola hidup "basangaja" (bergurau) dalam konteks di Maluku.

Sekian posting singkat ini beta bagikan bagi basudara semua, semoga bermanfaat.


HOROMATE..!!!

» Read More...

Video Profile Negeri Booi

Selamat datang di blog TRADISI MALUKU.. Semoga bermanfaat bagi anda!!