TRADISI BADENDANG


Orang Maluku menyebut tradisi ini beragam, sebab hampir sebagian besar negeri-negeri yang ada di Maluku melakukan tradisi ini. Tradisi badendang biasanya terlihat pada hari-hari raya keagamaan, baik di negeri Salam (Islam) maupun negeri Sarane (Kristen). Meskipun demikian tradisi Badendang tidak identik dengan tradisi ritual keagamaan, namun tradisi ini biasanya di adakan oleh kaum pemuda negeri untuk menciptakan nuansa kekeluargaan pada momen-momen tertentu. Seperti Natal, Idulfitri, Hari raya kurban, Perayaan tahun baru, dll.
Tentunya pada momen hari raya keagamaan atau momen perayaan hajatan negeri (seperti acara adat Lantik Raja, Tutup Baeleo, Panas Pela, Panas Gandong, dll) banyak anak cucu yang merantau melakukan mudik ke kampung halaman. Tradisi Badendang biasanya terjadi secara spontan, atas prakarsa satu kelompok yang mulai bernyanyi sambil berjalan menuju jalan-jalan utama negeri bahkan mereka melakukan tarian-tarian (berdendang) tertentu untuk menarik perhatian kelompok pemuda-pemudi yang lain. Justru yang terjadi akan membentuk suatu barisan panjang dalam kelompok yang sangat besar, yaitu gabungan kelompok demi kelompok pemuda-pemudi dan sama-sama berbaur antara anak cucu yang berada di negeri, dengan mereka yang pada saat itu sedang melakukan mudik. Secara tradisional ketika melakukan tradisi badendang, sebab tradisi ini telah berlangsung turun temurun di hampir seantero lease, disamping menyanyikan lagu-lagu daerah Maluku mereka juga “berkapata-kapata” (nyanyian tradisionla orang Maluku yang berisikan pesan-pesan moral), pantun-pantun, dll.
Tradisi badendang ini dibeberapa negeri di Lesae pada klimaks kegembiraan mereka diikuti dengan beberapa tradisi yang lain pula. Diantaranya adalah tradisi “tarik rotang” (olahraga tarik tambang), atau melakukan pesta dansa, dan lain sebagainya. Bahkan beragam pula tradisi badendang ini kemudian dimaknai pada konteks negeri-negeri tertentu. Diantaranya, sebagai suatu momen perpisahan, sehingga luapan sukacita bersama yang terwujud ketika tradisi Badendang dilakukan, yaitu ada keluarga (yang pulang melakukan mudik) tertentu yang memberikan uang dalam amplop, atau di bungkus dengan sapu tangan dan memberikannya pada ketua pemuda atau koordinator pemuda (sebagai penangung jawab). Dan uang pemberian itu dipakai untuk melakukan acara-acara kepemudaan di dalam negeri. [SA.95] J.Pattiasina

» Read More...

TRADISI BARANTANG

Setelah pulang dari pasar Saparua, mama Yoke “keku” (salah satu upaya orang perempuan Maluku khususdi bagian Ambon-Lease, membawa suatu beban yang kemudian ditaruh diatas kepala dengan beralaskan kain Anyiong; yaitu sebutan untuk kain yang digulungkan sebagai alas kepala) sagu mentah satu “tumang” (Tumang; adalah wadah tempat sagu mentah ditempatkan untuk dipasarkan, biasanya 1 tumang sagu mentah beratnya 25-30 kg atau lebih), sementara barang bawaan mama Yoke “ditenteng” (dalam bahasa saparua di sebut “Rembeng”) oleh Mama Mia. Inilah salah satu contoh dari kebiasaan atau tradisi barantang yang di ketahui masih menjadi bagian dari pola hidup orang Saparua hingga kini.


Barantang adalah kesepakatan antara 2 belah pihak (atau lebih) untuk saling membantu dalam kepentingan mendapatkan suatu hasil dan kemudian di bagi secara merata oleh kedua belah pihak. Hal ini sering dilakukan oleh kaum hawa ketika dalam bersamaan waktu misalkan, menuju ke pasar; dan biasanya untuk menghemat kebutuhan belanja, sering “baku akort” (melakukan kesepakatan) untuk barantang salah satu atau dua jenis barang belanjaan. Jadi kegiatan barantang sangat membantu kebutuhan mama Yoke dan mama Mia misalkan, dimana mereka mendapatkan satu tumang sagu mentah dengan bayaran 50% - 50%.


Barantang sama dengan Maano atau ma’anu dalam kultur budaya orang Maluku Tengah, adalah sama-sama mengarah pada kerja sama yang bersifat ekonomis dalam kepentingan akhir, ketika dua atau tiga orang bersepakat melakukan barantang. Tetapi Maano dipahami lebih cenderung terhadap bekerja sama membuat kebun, membeli dusun cengkih, dll, yang bersifat besar. Sementara barantang adalah bentuk kerja sama dalam membagi hasil dalam skala yang kecil, seperti pada umumnya barantang kebutuhan-kebutuhan makan minum. Dengan begitu pengunaan tradisi barantang lebih familiar dikalangan ibu-ibu ketimbang bapak-bapak (yang lebih mengenal ma’anu/maano). [SA.95] J.Pattiasina

» Read More...

TRADISI MINTA API

Tradisi Minta Api adalah tradisi unik dari kehidupan sosial masyarakat Maluku secara umum, dan tradisi ini hampir punah di berbagai negeri-negeri di Maluku (desa-desa). Meskipun demikian sampai sekarang, tradisi ini teramati masih berlangsung di negeri-negeri di pulau Saparua.
Dengan perkembangan zaman modern atas kelengkapan alat memasak yang lebih modern. Banyak orang telah memakai konvor dengan bahan bakar minyak, atau gas, namun untuk sebagian masyarakat di negeri-negeri Saparua, masih memakai “Tungku” (tempat perapian sederhana untuk tempat memasak keluarga dengan memakai 3 buah batu yang di tempatkan dalam bentuk segitiga sama sisi, atau buah besi beton/sejenisnya, dalam ukuran tertentu panjangnya, yang terbentang diatas 2 buah batu sebelah kiri dan kanan masing-masing secara sejajar, dan disesuaikan dengan ukuran alat-alat masak seperti “Pancis (Panci)” atau “Tacu (Wajan)” agar bisa ditempatkan diatas tungku tersebut) atau “Anglo” (tempat perapian yang terbuat dari tanah liat, dalam bentuk lingkaran yang kecil atau besar dengan lubang udara kecil-kecil di dindingnya) sebagai tempat perapian sekunder untuk memasak makanan, dengan bahan bakar kayu.
Tradisi minta api, sering berlangsung di pagi hari atau di sore hari ketika keluarga-keluarga mulai memasak kebutuhan makan keluarga, seperti masak makanan dan masak air. Biasanya ketika tidak ada alat pencetus api seperti korek api kayu atau gas, atau malas untuk membuat perapian dari awal di atas tungku mereka, para ibu cenderung menyuruh anak mereka, atau mereka sendiri pergi mengambil atau meminta pontong atau puntung api di tetangganya dengan memakai tempurung kelapa atau serabut kelapa sebagai wadah menempatkan pontong api tersebut. Demikianlah gambaran singkat dari salah satu tradisi yang pernah dan sampai sekarang masih berlangsung di beberapa negeri-negeri di Maluku.
Jika dianalisa tradisi minta pontong api mendapat tempatnya hingga kini di dalam setting kehidupan masyarakat Maluku, adalah merupakan bagian dari suatu tradisi yang kuat secara turun temurun terus dipertahankan karena terkandung di dalamnya nilai luhur, sebagai alasan utama kenapa tradisi ini harus dipertahankan secara sadar dikemudian hari. Meskipun demikian nilai luhur dari asal mula tradisi ini tercipta, menjadi kabur atau bahkan tidak diketahui lagi disaat ini.
Diakomodirnya tradisi ambil/minta api dalam posting ini, sebagai wujud keprihatinan saya terhadap nilai-nilai budaya dan tradisi dari masyarakat tradisional di Maluku yang mampu menembusi batas ruang dan waktu. Dari tradisi-tradisi semacam inilah atau budaya-budaya pinggiran yang sering dipandang sebelah mata, dan luput dari pengamatan banyak pihak, yang cenderung melihat dan ingin meneliti budaya-budaya formal yang telah terkenal di dalam kehidupan masyarakat, terkadang menyimpan banyak kekhasan nilai-nilai dasar yang pro hidup secara universal. Untuk itu saya mencoba untuk menggambarkan sisi-sisi yang patut ditampilkan dari tradisi ini.
Awal mula tradisi ini tercipta, dimulai dari zaman tradisional dengan pola kehidupan masyarakat pada saat itu masih sangat tradisional dan mereka hidup berkelompok, dimana membuat perapian untuk memasak makanan “Mataruma atau Rumatau atau Lumatau” (kutipan dari: PUSAT STUDI SEJARAH DAN BUDAYA MALUKU. Adalah kesatuan kelompok geneologis yang lebih besar sesudah keluarga, adalah rumatau atau lumatau) mereka dibutuhkan proses yang agak panjang. Biasanya orang Maluku tradisional membuat perapian secara tradisional, dengan saling menggosokan belahan bambu kering dengan daun kering (yang mudah terbakar), hingga munculnya api; atau memakai teknik mengetok batu dengan batu untuk menciptakan percikan api, kedua proses ini memakan waktu yang relative lama.
Dari tingkat kesulitan membuat perapian, hasil perapian sebelumnya tentunya akan dibagikan puntung-puntung api dari perapian utama ke perapian keluarga-keluarga yang ada didalam mataruma tersebut. Dengan begitu mereka dapat memasak makanan secara bersama-sama dalam waktu yang bersamaan pula untuk kepenuhan matarumah mereka juga, yaitu yang terdiri dari beberapa keluarga di dalamnya. Perlu dipertegaskan, mulai dari nilai luhur budaya tradisional inilah, kemudian menjadikan tradisi minta puntung api dapat bertahan diatas nilai-nilai tersebut hingga kini.
Yaitu yang pertama, berdasar pada nilai solidaritas dan kekeluargaan yang kuat; kedua, menghargai nilai dari “api” yang dihasilkan adalah suatu proses memperjuangan untuk menciptakan sesuatu dalam mempertahankan hidup bersama, dan berlangsung dalam suatu kerelahan antar ”orang basudara untuk saling melengkapi”. Disamping itu kualitas dari ‘api’ adalah sesuatu yang begitu urgen bagi kehidupan di zaman tradisional.
Dengan begitu, saya mencoba meyakinkan pembaca terhadap kualitas nilai-nilai dasar dari tradisi ini, bahwa tradisi minta api, ternyata berkembang dalam dasar-dasar filosofi yang jelas. Sehingga di masa kini, salah satu nilai dasar dari tradisi minta api dengan positifnya ditransformasi untuk meningkatkan kualitas hidup basudara antar tentangga (yang bukan geneologis di masa kini, seperti gambaran pola hidup tradisional yang identik dengan satu mataruma). Inilah dasar pikir yang sederhana saya temukan dalam mencermati, bentuk-bentuk perilaku manusia di masa kini, akan selalu berkaitan dengan dasar atau akarnya di masa lalu. Semoga bermanfaat untuk meningkatkan referensi kita tentang bentuk-bentuk budaya dan tradisi-tradisi di Maluku. [SA.95] J.Pattiasina

» Read More...

SU AMPER SIANG


Ayam su kukuruku, matahari su mulai buka mata sadiki,
Har dominggu datang kombali.
salamat pagi par samua...
...basudara salamat har DOMINGGU.

Basudara Salam, salamat hari bae par libur e.
Basudara Sarane, salamat iko kebaktian lai e.
Maluku masih pung kakehang, biking rakyat pono hokmat..
Mae oo... Salam-Sarane o.....

Maeoo katong baku kalesang laeng,
laeng tongka-tongka laeng...
jang tikang-tikang laeng...
ale gandong, katong baku gendong tahang balakang.

Inga moyang-moyang pung janji.
jaga sampe mati.
Maluku Negeri Raja-Raja.
Maluku negeri ribuan uku. [SA.95] J.Pattiasina

» Read More...

NEGERI BOOI; TRADISI HOHATE IKAN PAPUA



Hohate adalah alat menangkap ikan tradisional, yang biasanya memakai bambu ukuran kecil, yang panjang bambo untuk satu buah Hohate yang baik adalah 5 m, 7 m, 9 m. Dan pada bambu tersebut dipasangkan tali senar plastik (tasi, mika) yang telah dipasangkan mata kailnya (Kail). Menurut orang Booi (salah satu negeri di pulau Saparua), panjang hohate yang sangat baik mesti berukuran ganjil panjangnya, dan tidak boleh genap.

Biasanya pada saat memotong bambu untuk dijadikan hohate dihitung berdasarkan ruas bambunya saja, Seperti 5 ruas, 7 ruas, 9 ruas, tergantung keinginan pemilik Hohate.
Sebab jika Hohate yang berukuran genap, maka sangat mungkin tidak mendapatkan tangkapan ikan yang cukup memuaskan. Hal ini sudah terbukti ketika ada yang mencobanya, dan ternyata tidak memuaskan sesuai dengan tradisi yang telah diakui oleh masyarakat negeri Booi.

» Read More...

Video Profile Negeri Booi

Selamat datang di blog TRADISI MALUKU.. Semoga bermanfaat bagi anda!!